Dante Pine dan Jalan Menuju Kampung Agrowisata

oleh Ilham Rusdi

Zaim, teman saya, dengan setengah mabuk berhenti memarkir sepeda motor. Setelah melintasi jalan berkelok-kelok, di hadapan kami, si Nona didandan oleh kabut pagi. Cantik dan dingin. Begitu terus setiap hari. Si Nona, yang konon dalam mitologi Massenrempulu, ialah seorang gadis cantik yang gagal dipersunting dan dikutuk dengan tragis. Bim salabim! Si Nona pun jadi gunung. Orang-orang lebih akrab memanggilnya Gunung Nona alias Buttu Kabobong.

Meski begitu, kecantikan si Nona masih bisa kita nikmati hingga saat ini. Anda cukup mengunjungi dua destinasi wisata alam yang ada di Enrekang itu. Dante Pine dan Buttu Macca, keduanya menjadi destinasi wisata alam yang tren dan menawarkan konsep yang menarik. Dari jauh, dari luar Enrekang, tiap hari pengunjung datang berbondong-bondong. Selain menguji nyali dengan wahana ekstrem, mereka juga bisa berswafoto di berbagai spot foto yang dihiasi dengan ragam properti. Spot berbentuk perahu, sepeda gantung, wahana flying fox dan banyak lagi. Tampak kekinian, atau bahasa gaulnya sangat instagramable.

Sebetulnya, konsep wisata demikian bukan barang baru. Namun akhir-akhir ini, Enrekang punya potensi jadi kiblat pariwisata alam di Sulawesi Selatan. Mengapa? Enrekang diuntungkan oleh letak geografisnya. Diapit pegunungan, hutan dan hidup di dataran tinggi. Tentu, kondisi itu bisa dimanfaatkan untuk membuka keran perekonomian warga melalui pariwisata berbasis ekologi. Sebut saja Pariwisata Hijau. Sebuah destinasi yang memberdayakan potensi alam di sekitarnya. Selain sejuk, juga ramah lingkungan. Alih-alih, antusiasme wisatawan hari ini terhadap pariwisata alam juga terbilang tinggi. Pengunjung rela bertransmigrasi hingga berkilo-kilo ke pelosok desa untuk menikmati panorama atau sekadar menghirup udara pagi. Artinya, mereka mencari destinasi untuk menenangkan diri, yang barangkali mereka tak temui di wilayah perkotaan. Lagipula, berkunjung ke wisata alam telah menjadi bagian dari lifestyle, budaya masa kini.

Sebagai Negeri Agraris, wisata alam Enrekang sudah seyogianya membikin kreativitas ala tani dan kebun di lingkungan pariwisata. Adalah agrowisata, konsep pariwisata yang memadukan potensi produktivitas pertanian dengan potensi alam (ekologi) suatu wilayah. Hal itu mampu mendongkrak distribusi dan mengenalkan identitas hasil produktivitas tani dan kebun di Enrekang. Intinya, semacam kolaborasi antara pengelola wisata dengan para petani. Mengingat besarnya potensi agraris dan kondisi ekologis Enrekang, sangat mungkin dijadikan peluang bisnis yang mampu menigkatkan taraf perekonomian warga. Seperti apa? Mari berkenalan dengan kampung agrowisata.

Kampung Agrowisata itu Bernama Enrekang

Di Enrekang, tanahnya subur dan segala jenis tanaman bisa tumbuh dengan baik. Termasuk buah dan sayuran. Oleh karena itu, Enrekang menjadi salah satu peyuplai hasil tani dan kebun paling dominan di Sulawesi Selatan, bahkan nasional sekalipun. Ada Pulu Mandoti alias beras khas Enrekang, Jagung, Bawang Merah, Kol, Tomat dan Kopi. Tak hanya itu, kuliner seperti Dangke, Deppa Tetekan, Baje yang bahan dasarnya berasal dari hasil kebun itu juga kian banyak diminati. Hanya saja, beberapa hasil produktivitas tani dan kebun itu kerap kali tak terdistribusi dengan rapi. Sebab, produksi yang dihasilkan oleh para petani kadang membeludak (overpruduction). Melebihi kapasitas produksi yang dibutuhkan. Dampaknya, bisa membuat petani kesulitan menentukan harga yang sesuai kebutuhannya dan permintaan pasar.

Kementerian Pertanian Republik Indonesia (Kementan RI) melalui website resminya mendata, bahwa di Enrekang, rata-rata jagung yang dipanen per tahunnya berkisar 50-100 ribu ton. Data akhir, tahun 2017, produksi jagung menunjukkan angka 122.245,20 ton. Itu baru jagung dan angkanya sudah bukan main. Belum termasuk hasil produksi tani dan kebun lainnya seperti yang disebutkan tadi. Dengan begitu, penting untuk melibatkan hasil produksi tani dan kebun dalam pengelolaan pariwisata di Enrekang. Baik yang sudah diolah jadi kuliner atau belum. Agar hasil produksi tersebut punya jalur distribusi lain dan bisa dipasarkan kepada para pengunjung.

Jadinya, begini. Tiap destinasi wisata, Dante Pine, Buttu Macca, Permandian Lewaja, hingga Kebun Raya, -baik wisata alam atau bukan- diwarnai dengan hasil produktivitas pertanian yang menonjol di Enrekang. Begitu juga dengan kuliner khas dan hasil kerajinan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) warga ikut dipamerkan. Seperti produk Kopi Kalosi, Kopi Nating, dan Dangke. Bahkan bila perlu, tiap destinasi wisata dibuatkan pasar tradisonal yang menjual hasil tani, kebun, kuliner dan kerajinan tangan orang-orang Enrekang. Pasalnya, barang-barang tersebut sering kali tak dijumpai di pasar tradisional yang ada di desa maupun kecamatan. Belum lagi, pasar-pasar tersebut hanya digelar pada hari-hari tertentu saja. Termasuk pasar sentral Enrekang sekalipun, yang hanya digelar pada hari Senin dan Kamis. Barangkali pula, cara distribusi itu bisa menutup cela para tengkulak nakal atau penimbun agar tak seenaknya memonopoli harga.

Sebetulnya, ada dua hal lain yang tak kalah menarik dari konsep agrowisata. Pertama, selain upaya pemerataan distribusi hasil produksi, juga sebagai upaya mengenalkan, membranding, dan melekatkan identitas kekhasan Enrekang pada tiap produknya. Misalnya, Dangke. Olahan susu sapi itu sudah lama dikenal sebagai keju lokal yang eksis sejak orang Enrekang menghadiahkannya kepada pemerintahan Hindia Belanda. Ada lagi, Kopi Kalosi dan Nating. Dua brand kopi yang dirawat di ketinggian lereng Latimojong, yang selama ini sukses memutar roda perekonomian warga Nating dan Angin-angin. Bagi pendatang yang mencari tahu soal Dangke dan kopi, pasti ia akan diarahkan ke jalan menuju kota Enrekang. Begitu pun dengan produk lain nantinya.

Kedua, agrowisata juga mampu menciptakan iklim yang akademis. Pengunjung tak hanya datang berlibur. Di Maiwa, ada Kebun Raya. Pengunjung bisa banyak belajar soal tanaman atau tumbuh-tumbuhan dengan kesan yang lebih santai. Pengunjung juga bisa belajar bagaimana cara bercocok tanam dan memelihara tanaman dengan baik. Misalnya, tata cara penyaringan nira, yang menjadi bahan dasar pembuatan Baje, sebagai kuliner yang menandai bertahannya eksistensi pohon enau di Enrekang. Dan masih banyak lagi. Di tempat lain, misalnya. Di Jogja, ada sebuah kampung yang juga telah lama menerapkan konsep agrowisata. Omah Salak, Omah berarti rumah, dan Salak adalah buah salak itu sendiri. Omah Salak ini merupakan desa agrowisata di kawasan Turi. Di dalamnya, para pengujung bebas bertanya seputar buah salak dan belajar memetik sendiri.

Dengan demikian, wisata alam tak hanya berfungsi sebagai wahana rekreasi. Tetapi, dengan agrowisata, Dante Pine, Buttu Macca, Kebun Raya, dan lainnya juga berfungsi sebagai wahana edukasi. Terutama bagi pengunjung yang ingin tahu banyak seputar Enrekang.

Agrowisata dan Upaya Konservasi Lingkungan

Terpenting, selain memberdayakan lingkungan, manajemen wisata perlu memadatkan agenda atau event yang berkaitan dengan tema agro dan ekologi. Misalnya, agenda penanaman, pembibitan, ataupun reboisasi di lingkungan destinasi. Dengan begitu, Dante Pine dan destinasi lainnya menjadi bentuk konservasi lingkungan secara kecil-kecilan. Tidak merepotkan dan cukup sederhana. Pengunjung belajar bagaimana merawat alam dan mencintai lingkungan.

Terakhir. Eksplorasi dan konsepsi tadi adalah upaya kecil yang perlahan mengantarkan Enrekang berjalan menuju kampung agrowisata. Tabik!

Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam Lomba Esai “Potensi Lokal Enrekang” tahun 2019 yang diadakan Dispustaka Enrekang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *