Di Enrekang, Hegemoni pun Tak Pernah Usai Dibincangkan

Sebab kita ada dalam jaring-jaring hegemoni, justru ketika kita berbincang di Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang”

Chat Firawan masuk di grup Kemah Pustaka, katanya ia sudah siap membahas Pokok-pokok Pemikiran Antonio Gramsci. Respon itu pun disambut oleh beberapa rekannya yang juga menjadi pembahas di bab-bab sebelumnya dari Buku Pendidikan Posmodern: Telaah Kritis Pemikiran Tokoh Pendidikan karya Mukhrizal Arif, dkk. Mereka pun datang ke Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang dengan jumlah 8 orang, Kamis, 20 Februari.

Sebagai pengantar, Musdin Musakkir memberikan pancingan kepada pembahas perihal Antonio Gramsci dengan kata kunci hegemoni. Lalu mencoba mengaitkan beberapa hal terkait diskusi yang ia ikuti di Kelas Passikolaan (STKIP Muhammadiyah Enrekang) yang membahas perihal Paulo Freire. Menurutnya, Paulo Freire belajar banyak dari Gramsci, khususnya teori pendidikan itu sendiri.

Bahasan tentang Gramsci memang tak dapat dilepaskan dengan dunia pendidikan. Berangkat dari Pendidikan yang diterimanya dan latar sosio-kultural kehidupannya di Italia pada masa itu yang penuh dengan dinamika politik.

Gramsci, seorang marxis yang bergabung dengan Partai Sosialis dan lalu Partai Komunis Italia ini rupanya punya gairah tersendiri dari corak pemikiran marxis lainnya. Usai pendidikannya di Fakultas Sastra, ia menjadi editor untuk media teater, hingga terlibat dalam majalah mingguan yang mengusung budaya sosialis. Dari latar belakangnya itu, sebagai pemikir yang mengasosiakan diri sebagai marxis, ia sampai pada praktik politik dan ekonomis yang terintegrasi dengan kerja budaya.

Berbeda pada bahasan bab pertama dalam Klub Baca Pemustaka yang mengulas Jurgen Habermas, di sini Gramsci melihat individu dengan esemble of social relations. Yang dapat kita pahami bahwa sekalipun individu punya otonomi, ia tidak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang atau relasi sosial. Ambil contoh pada Bincang Buku pagi itu, ketika para pesertanya datang memenuhi diskusi di ruang publik yang “diagendakan” oleh Musdin.

Contoh lain yang coba diilustrasikan oleh Saleh ketika ia mengajukan pertanyaan reflektif, kiranya bagaimana menyikapi ajakan demo oleh kampusnya terkait pendidikan di hadapan DPRD Enrekang tempo lalu. Ia menyoroti, apakah ajakan tersebut merupakan hegemoni atau dominasi dunia pendidikan dalam konteks pemikiran Gramsci.

Ajuan Saleh ini memang menarik ketika kita mulai mengidentifikasi corak pemikiran Gramsci yang mengenalkan isitilah hegemoni. Di mana, hegemoni dipahami sebagai landasan yang dianggap Gramsci dengan kepemimpinan moral dan intelektual. Artinya pengaruh yang coba ditanamkan oleh suatu negara, atau katakanlah kampus, bersifat intelektual dan anjuran moral yang nantinya diterima secara permisif atau sukarela oleh orang dalam civitas (untuk merujuk konsep masyarakat warga). Tentu saja Gramsci menyebutkan dua bentuk pengaruh dalam kerja budaya yakni yang tradisional dan intelektual organik. Yang terakhir inilah, yang kami coba identifikasi dengan dosen atau guru, dan sebenarnya merupakan kelompok hegemonik yang diharapkan.

Dapat pula dibedakan bahwa dominasi lebih menyatakan diri pada perang gerakan, menghalau negara dijadikan semata alat untuk kekuasaan para borjuis. Sementara konsep hegemoni Gramsci, dalam isitilah teknisnya, perang posisi (akal sehat yang diterima secara universal masyarakat warga) sebelum melancarkan perang gerakan (tindakan militer perebutan kuasa). Karena ketika rasionalitas sudah diterima oleh masyarakat, maka tindakan berikutnya akan mudah diterima, untuk kemudian mengatakannya “dibenarkan”.

Sinyal ini sebenarnya dapat saja dipraktikkan kelompok elit politik, yang tentu saja berangkat dari budaya kritis (akal sehat) dan diaspirasikan. Sebagai wakil rakyat sejati, meminjam arti intelektual organik, ia berperan(g) dalam posisi tawar akal sehat universal (dapilnya). Pertarungan di kursi itu dapat menguji hegemoni penguasa, sekaligus sebenarnya menjadi gerbang hegemonik para dewan perwakilan yang konsensusnya diraih dari rakyatnya.

Pada akhir diskusi, kami rupanya secara dialogis memunculkan istilah ‘hegemoni positif’. Kata Musdin, mengajak teman-teman ikut berbincang buku bisa juga dikategorikan hegemonik, tapi ini relasi yang dijalin dengan alamiah. Di samping itu, kita bisa mengatakan mahasiswa yang ikut bincang juga suatu waktu adalah borjuasi kecil dan ikut andil dalam hegemoni. Tapi andaikan mereka terhegemoni, setidaknya mereka sudah memahami bagaimana hegemoni itu beroperasi dengan diam-diam ke dalam dirinya.

Sama ketika menanyakan salah atau tidaknya mereka ikut demo, karena yang menjadi berbeda setelah memahami konsep hegemoni adalah mereka bisa menolak atau justru menegaskan tindakannya setelah menerima ajakan itu dalam kesadaran intelektual. Semacam gugatan kritis agar tak lantas mempercayai semua tesis yang disampaikan, termasuk ulasan saya hari itu. Tapi biar bagaimanapun untuk sementara waktu, saya dan Musdin akan tetap memainkan “hegemoni” di ruang publik ini (perpustakaan umum) dalam arti yang telah dipahami dan diterima bersama peserta.

Yang tak kalah penting lagi, kami bersepakat membaca lebih lanjut agar memahami secara utuh pokok pemikiran Antonio Gramsci. Menyadari sebagai pemula, kami pun menyarankan agar setiap bab yang telah dibahas masing-masing kiranya dilekatkan dan dikaji khusus, agar pemikiran setiap tokoh jadi identik dengan pembahas. Anggaplah Ade Nurul belajar menjadi Habermasian di kelas-kelas kuliah dan dalam menyikapi fenomena harian, agar mampu menggunakan perspektif yang konsisten dengan cara Habermasian.

Harapan besar dari bincang singkat dan kecil kami hari itu, tentu saja jadi semacam tilikan awal untuk menjangkau lebih luas praktik hegemoni yang ada di dalam keseharian kita, di kota Enrekang sebagai sentral kekuasaan/birokrasi. Menjajaki sublatern yang kemungkinan jadi laku politis harian, bahkan boleh jadi kita sedang memerankannya sebagai strategi. Dari Gramsci, saya menyerap spirit bahwa “membuat keseharian, keugaharian Anda nyaman itu bisa jadi politik yang strategis“.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *