Literasi dan Kisah-Kisah Tentang Kedai Kopi yang Kreatif juga Berbahaya

Oleh Ilham MR, Pelayan di Warkop Baca Ilham Karrang, sedang belajar Bahasa dan Sastra Arab dan kini sibuk mengurus Kulibuku Maspul

Revolusi Mesir 1919 digodok dari kedai kopi. Revolusi yang mengusir kekuasaan imperialisme Inggris dari Mesir itu, berangkat dari sebuah kedai bernama Kafe El Fishawy. Kafe El Fishawy pernah menjadi tongkrongan Najib Mahfuzh, sastrawan Arab tersohor yang terlibat dalam penggodokan revolusi itu. Revolusi ialah tindakan serius, yang  kalau dipikir-pikir, seharusnya tidak direncanakan di tempat- yang menurut sebagian orang- bising dan tidak kondusif. Alih-alih, tak jadi soal.

Dari kedai, Najib bersama sastrawan lainnya justru melahirkan banyak karya. Salah satunya Novel berjudul Karnak Cafe, yang menelanjangi kekacauan politik Mesir dari sebuah kafe kecil yang berada di ujung jalan Mahdi, kota Kairo. Setelah itu, karya-karya lainnya ikut menggegerkan seantero Mesir, berkelana di berbagai negara, sekaligus membuatnya dikecam ramai-ramai. Tetapi atas ulahnya itu, ia diganjar penghargaan sebagai orang Arab pertama yang meraih nobel satra pada 1988.

Di Prancis, penulis buku International Best Seller: The Old Man and The Sea, Ernest Hemingway juga lebih sering duduk di kedai kopi. Hemingway pernah safari dari Kafe Deux Magots ke Kafe de Flore, yang juga pernah menjadi tempat perenungan Sartre kala melahirkan gagasan filsafatnya. Penulis lain, Albert Camus rupanya kerap kongko di beberapa kedai yang pernah menjadi titik kumpul penggodokan revolusi pemuda Prancis.

Di Indonesia, juga begitu. Tokoh bangsa yang menulis dan minum kopi adalah Sukarno. Amalan itu membuatnya banyak menelurkan gagasan dan karya fenomenal. Selain jadi presiden, Sukarno juga menyambi sebagai penulis pada sebuah buku berjudul Di Bawah Bendera Revolusi. Buku yang kira-kira setebal 6 bata itu, memuat pemikirannya tentang marhaenisme dan gambaran peristiwa politik, sosial dan budaya pada masanya. Sayangnya, Sukarno sebagai tokoh sentral tidak begitu banyak berinteraksi dengan aktivitas kedai kopi.

Sebetulnya, banyak pesohor yang berangkat dari kedai kopi. Banyak yang membangun karirnya dari sana. Orang-orang dulu sudah lama memikirkan bagaimana menyulut potensinya dengan cara-cara yang asyik. Dan barangkali kita masih tidak kepikiran, bahwa kopi yang kita teguk tiap hari, tiap saat, suatu waktu punya kontribusi terhadap kemajuan bangsa.

Inilah pentingnya memikirkan bagaimana kedai dan segala cita rasa kopinya, mampu mengubah nasib orang-orang?

Orang-Orang yang Boleh Ngopi dan Duduk di Kedai

Kedai kopi sudah menjamur. Kedai-kedai merupai konsep yang mengiringi kecenderungan publik yang kekinian. Kehadiran kedai kopi, bukan saja sebagai alasan agar seseorang bisa menyeduh kopi dengan cara yang baik dan benar. Bukan. Kedai kopi bukan pula sekadar anak-anak muda yang datang lalu duduk, melampiaskan kejenuhan, dan pulang dengan kepala dingin.

Kedai ialah miniatur negara. Kedai seperti sebuah parlemen yang egaliter. Di kedai, berbagai kalangan bisa berkumpul. Kedai mengakomodir kalangan pejabat, buruh, mahasiswa, pelajar, hingga masyarakat sekitar. Mereka datang dengan beragam motif, yang meski sebetulnya, sebagian dari mereka tidak betul-betul ingin menikmati kopi. Mereka datang untuk berwisata, bergurau, ataupun sekadar ingin kencan. Tak masalah. Tetapi, kedatangan mereka yang menjadikan kedai sebagai ruang untuk saling bertukar pikiran dan informasi, adalah kedatangan yang paling dinanti-nantikan. 

Sejarawan Inggris Brian Cowan, pernah mengamati bagaimana interaksi yang terjadi di kedai kopi. Dalam bukunya The Social Life of Coffee: The Emergence of the British Coffeehouse,  mengisahkan bagaimana mulanya orang-orang Inggris menggemari kopi, hingga bagaimana kedai kopi menjadi tempat yang eksotik, yang sering dikunjungi ketimbang tempat lain.

Cowan mengaitkan teori public sphere milik Jurgen Habermas dengan kebiasaan minum kopi dan kehadiran kedai kopi dalam perspektif sejarah. Pemikir Prancis itu mengembangkan teori public sphere untuk mengamati interaksi publik. Public sphere adalah kata lain dari ruang publik yang dijadikan akses untuk menjalin informasi dan komunikasi sebebas-bebasnya. Dan Cowan, melihat public sphere muncul di kedai.

Kata Cowan, minum kopi adalah tadisi ketimuran, yang kemudian dibawa oleh orang-orang Ottoman ke Eropa. Ketertarikan orang-orang Inggris pada kopi, mulanya, bukan sebagai barang dagangan. Melainkan kopi diperlakukan seperti barang antik, yang saat itu banyak dikoleksi oleh para etnograf ketimuran. Tetapi makin ke sini, kopi dan kedainya beralih sebagai ruang publik yang menengahi ketegangan stratifikasi sosial. Di sinillah teori public sphere bekerja. Kedai kopi punya sistem pelayananan yang egaliter dan inklusif. Di kedai, semua orang sama. Semua berhak berpendapat. Tak peduli mereka dari kalangan mana.

Berkat itu, kedai kopi pun hadir di mana-mana. Kedai mampu menarik banyak pengunjung. Para pemilik kedai ramai-ramai menawarkan konsep yang ramah interaksi. Di antaranya, ruang-ruang dialog dengan kegiatan yang memungkinkan pengunjung saling bertukar gagasan; ruang- ruang informasi, dengan arsitektur kedai yang menyerupai perpustakaan dan museum; hingga ruang-ruang produktif yang dapat digunakan untuk berkarya (working space). Sisanya, adalah ruang-ruang hiburan.

Yang sebetulnya dari sana, tak disadari bahwa ruang-ruang kedai dan kaitannya dengan public sphere, rupanya banyak melahirkan peristiwa literasi. Kedai secara tidak langsung merawat tradisi literasi. Jika literasi adalah kemampuan memahami pengetahuan dan mengolah informasi –baik tersurat maupun tersirat-, maka literasi itu hadir di kedai. Dan peristiwa itu sering kali beraksi diam-diam.

Perihal Bagaimana Literasi Bekerja di Kedai Kopi

Di Yogyakarta, misalnya. Kehadiran kedai-kedai kopi cukup mempengaruhi aktivitas anak-anak muda. Kedai-kedai terus berganti rupa dan melahirkan orang-orang kreatif yang berbahaya. Ada banyak ruang-ruang diskusi yang digelar. Ada banyak buku-buku dan koran-koran yang ditata. Ada banyak pula panggung-panggung untuk merayakan musik. Sehingga, tidak begitu mengejutkan mengapa kedai-kedai kopi mampu melahirkan pesohor-pesohor.

Bukan karena pengunjung kedai di Yogya didominasi mahasiswa dan pelajar. Bukan. Peristiwa literasi juga sangat memungkinkan terjadi di kedai-kedai yang berada jauh dari ekosistem terpelajar.

Di Enrekang, juga sama. Kedai-kedai juga mendukung aktivitas literasi masyarakat. Kedai mampu memfasilitasi masyarakat dalam pertukaran informasi, terutama wawasan yang menyangkut seputar dunia perkopian. Apalagi, Enrekang merupakan salah satu penyumbang produktivitas kopi yang dominan dan kian diminati. Misalnya, kekhasan kopi Kalosi punya prestise yang mendorong tumbuh suburnya penikmat kopi Enrekang.

Bahkan, andil kopi dalam mendukung aktivitas literasi tidak hanya terjadi di kedai. Komunitas pencinta kopi dan pegiat literasi terus berusaha membikin agenda yang memungkinkan terbentuknya public sphere. Terbentuknya ruang-ruang publik baru yang khusus membincangkan kopi. Seperti agenda Literasi dan Wisata Kopi, yang beberapa waktu lalu digelar di sebuah desa penghasil kopi, di Nating dan Angin-Angin. 

Dan sampai sekarang, terlaksananya Pekan Literasi 2020 yang bertemakan “kopi” ini, adalah senyata-nyatanya bentuk kepedulian pada pengetahuan tentang kopi Enrekang. Lewat aktivitas literasi, kedai kemudian menjadi public sphere bagi informasi seputar kopi yang sepatutnya dipertukarkan orang-orang Enrekang.

Itulah mengapa saya sepakat dengan buku Agroliterasi, pada bagian ketika Irsan beranggapan, “Untuk mendukung agribisnis kreatif, diperlukan upaya simultan dengan aksi literasi.”  Kopi dan kedainya harus sejalan. Kopi adalah agribisnisnya dan di kedai, aksi literasinya berjalan. Sehingga tidak hanya kelas menengah ke atas dan pelajar yang bisa menjadikan kedai sebagai ruang berbagi pengetahuan (sharing of knowledge). Dan stigma kedai sebagai ruang yang kaku dan eksklusif perlahan bakal memudar. Bahkan, kedai juga mampu merangkul petani-petani kopi Enrekang untuk mengetahui dan mengeksplorasi banyak hal terkait potensi daerahnya itu.

Dengan begitu, pada dasarnya, semua orang adalah peminum kopi. Akan semakin banyak kedai-kedai, juga ruang-ruang informasi. Dan dengan memadukan kebiasaan ngopi dan aksi-aksi literasi, kedai bakal terus melahirkan orang-orang kreatif juga berbahaya. Bahayanya? Bisa kita amati dari kisah-kisah tentang kedai dan kopinya yang melahirkan pesohor-pesohor dunia. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *