Mengenal Kopi dari Nating

Oleh Hasmin, Petani Kopi dan Pelaku Usaha Massipa Coffe Nating

Berbicara perihal kecamatan Bungin tentu tidak bisa dilepaskan dengan kopi. Kopi tak hanya jadi minuman yang populer bagi warga Bungin, tetapi juga sumber penghidupan masyarakat. Di Nating, Desa Sawitto, kopi adalah komoditi yang bertautan dengan banyak hal, seperti sejarah dan budaya.

Suplai kopi Arabika Kalosi Enrekang, yang paling besar sejak tahun enam puluhan berasal dari Bungin yang dikenal dengan Kopi Nating. Pada tahun 1974 Kopi Arabika Kalosi didistribusikan oleh salah satu usaha dagang yang bernama UD. Firma Kopi Bungin yang berpusat di Makassar dan kemudian diekspor ke Eropa dan Asia timur. Dan saat itu, Kalosi menjadi pusat perdagangan kopi Arabika Enrekang pada saat itu.

Kecamatan Bungin yang kini berusia 20-an tahun (setelah dimekarkan dari kecamatan Maiwa), tak hanya menyimpan kekayaan seperti kopi, tapi juga menyimpan kekayaan budaya lokal dan kekayaan sejarah. Ada beberapa budaya dan sejarah yang ada di Bungin, namun pada tulisan ini hanya akan membahas budaya (tradisi) dan sejarah yang berkaitan dengan kopi.

Sejarah Kopi Bungin

Kopi Bungin yang berkembang secara turun temurun di Nating. Pada mulanya kopi  ditanam di hamparan yang luas di Bungin. Pondan dan Bara’bak’ nama lokasinya. Beberapa hamparan perkebunan kopi berdekatan dengan persawahan. Karena dekat dengan persawahan, berkali-kali tanaman padi (baik di sawah maupun di ladang) mengalami gagal panen sehingga msyarakat merasa resah sebab bertahun-tahun hidup dengan umbi-umbian, bahkan umbi liar pun dimakan. Karena itu, diadakanlah sidang musyawarah atau tudang sipulung yang dihadiri oleh semua tokoh yang disebut Tallung Pulo Dua Puledan artinya 32 bidang. Tiap-tiap bidang ditunjuk seorang koordinator untuk mengaturnya. Beginilah struktur tokoh masyarakat Bungin di zaman itu.

Di dalam sidang musyawarah mereka mengambil kesimpulan bahwa penyebab gagalnya panen padi disebabkan karena barangkali tidak bisa berbaur dengan kopi dalam area yang berdekatan. Kemudian mereka sepakat membuat aturan yang di sebut aluk na pemali. Akhirnya, mereka sepakat memusnahkan tanaman kopi dan dipindahkan ke area yang terpisah dan lebih jauh tempatnya, yaitu Nating.

Ada yang berpendapat bahwa masuknya tanaman kopi di Bungin dibawa oleh Belanda. Ada juga berpendapat kalau kopi di Bungin disebarkan oleh penyebar agama Islam dari Sumatera ke Gowa kemudian masuk ke Bungin. Namun ada juga yang mengatakan kalau bibit kopi awalnya diambil dari hutan belantara di sekitar pegunungan Latimojong. Ketiga pendapat ini masing-masing punya alasan. Pendapat yang ke tiga ini, dikuatkan dengan keberadaan pohon kopi tua yang tumbuh liar seperti yang ditemukan oleh almarhum Saba’ semasa mudanya. Dan pohon ini dirawat oleh anaknya dan istrinya (Duwira). Katanya masih ada pohon kopi yang tumbuh liar di hutan. “Dulu ketika almarhum suami saya masih hidup, beliau sering pulang dari hutan dengan membawa biji kopi ceri yang dia petik.”

Beberapa pohon tua (kopi) ini terdapat di Pu’jappong Dusun Ka’tabi Desa Sawitto Kecamatan Bungin. Dan masih terdapat beberapa pohon di hutan yang jauh dari permukiman dan lahan warga. ”Waktu masih kecil saya mendengar cerita dari beberapa orang tua, katanya di masa muda kami mengambil anakan kopi dari hutan sampai bermalam di hutan pada masa penjajahan Nippon atau yang kita kenal jepang.”

Pak Ibing, salah seorang tokoh masyarakat yang sejak kecil aktif dalam acara ritual dan pertemuan adat, lebih banyak tahu tentang ini. Ia sekarang tinggal di Dusun Ka’tabi dan juga salah seorang pemerhati kopi, terutama pohon tua typica. Katanya mulai dari nenek moyang kita sampai kita sekarang hanya menggantungkan harapan hidup dengan bercocok tanam kopi. Tidak seperti sekarang sudah banyak sumber pendapatan lain selain bertani kopi. Kopi Bungin atau kopi Nating pada awalnya dikenal dengan sebutan kawa (konon kata asalnya qahwa).

Tanaman kopi ini yang baru belasan tahun kami kenal dengan varietas Arabika typica. Berdasarkan sebutan di atas inilah sehingga ada yang berpendapat kalau kopi asalnya dari Arab. Arabika typica tumbuh berkembang di dua Dusun yakni Nating dan Ka’tabi. Kemudian menjadi pemasok stok Arabika Kalosi terbanyak pada tahun 1970-an. Yang didistribusikan oleh UD Firma Kopi Bungin. Sebuah usaha dagang yang terkenal sebagai pengekspor kopi Kalosi pada tahun 1974.

Kopi Arabika typica yang banyak dikenal sebagai kopi Nating mengalami akhir masa kejayaan pada tahun 1987. Apalagi setelah itu masyarakat sudah mulai mengenal dan menggunakan bahan kimia dalam pemeliharaan. Sedangkan varietas ini sifatnya tumbuh secara alami, sehingga populasi pertumbuhan tanaman kopi ini mulai menurun.

Melihat kondisi pertumbuhan tanaman kopi makin buruk, maka pada tahun 1989 masyarakat memulai varietas baru yakni lini S795 yang diambil dari Salukanan Kecamatan Baraka. Meski dilarang oleh pemerintah setempat karena varietas yang ada sebelumya dianggap lebih baik dan lebih mahal. Yang harganya di lokasi kebun, kalau  dibarter dengan beras sama dengan 1 banding 13 liter (Senilai  Rp 130.000/ liter kopi tanduk untuk harga sekarang). Seentara harga di Nating saat ini Rp 10.000. Bahkan untuk membeli sapi betina umur 2 tahun lebih kita hanya menjual 10 liter kopi tanduk saja. Tapi ini mungkin kenangan saja karena faktor persaingan single origin dan varietas kopi semakin ketat.

Pertemuan kedua varietas tersebut menghasilkan keturunan persilangan yang tumbuh berkembang di Nating dan menjadi kopi terbaik nomor satu dalam kontes kopi tahun 2012 (sebuah kontes nasional yang sempat kami ikuti). Kemudian keturunan hasil perkawinan silang kedua varietas inilah yang kami racik dalam kemasan brand Massipa’ Coffee.

Kopi dalam Adat dan Budaya Bungin

Di Bungin, kopi merupakan salah satu tanaman tradisional yang diatur oleh budaya. Masarakat Bungin memperlakukan kopi secara tradisional dalam istilah aluk na pemali. Aluk artinya anjuran yang harus dijalankan dan pemali artinya larangan yang harus ditinggalkan.

Aluk atau anjuran adat adalah ritual yang dilakukan setelah panen kopi yang biasa distilahkan maccerak kawa. Sejak zaman kerajaan sampai zaman orde baru masyarakat rutin melakukan ritual ini (maccerak kawa) setiap tahun. Ritual ini dapat dilakukan baik secara berkelompok maupun rumah tangga dengan menyembeli hewan. Untuk acara ritual maccerak kawa secara berkelompok biasanya menyembeli kerbau putih (tedong bulan). Sementara ritual dalam rumpun keluarga maka hanya menyembeli ayam kampung, tapi syaratnya harus ada seekor ayam putih dan seekor ayam hitam.

Karena menurut keyakinan leluhur, ayam putih atau kerbau putih adalah simbol pembungaan. Sedangkan ayam hitam adalah simbol hama dan penyakit pada tanaman kopi. Sehingga ritual maccerak kawa harus menyembeli ayam putih dan ayam hitam. Namun seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan syiar islam, tradisi ini mulai ditinggalkan, sehingga masyarakat sudah jarang melakukan ritual tersebut. Bahkan acara ritual secara bekelompok dengan menyembeli kerbau putih, terakhir dilaksanakan di Nating pada tahun 1980 (semasa penulis masih kanak-kanak).

Adapun larangan-larangan yang yang harus ditinggalkan (pemali) di antaranya, pertama; tidak boleh mencampurkan beras dengan biji kopi untuk dijadikan kopi bubuk atau yang lain. Sampai sekarang masyarakat Bungin masih mematuhi larangan ini karena rasa dan aromanya memang tidak enak. Lagipula stok beras memang masih kurang. Untuk kebutuhan konsumsi masyarakat pun masih belum mencukupi. Apalagi stok kopi bungin masih berlimpah dan juga sangat tekenal aromanya. Kedua, tidak boleh menyangrai kopi di saat mengeringkan padi di atas rumah. Dulu pada waktu masyarakat masih membudidayakan padi lokal yang cara panennya diikat, cara pengeringannya juga pake asap. Di situlah berlaku aturan tidak dibolehkan menyangrai kopi. Ketiga, tidak boleh membawa kopi atau minum kopi di sawah atau ladang di saat proses panen padi. Pemali atau larangan yang satu ini sangat jarang dipatuhi oleh generasi saat ini. Hanya sebagian kecil masyarakat yang mematuhinya yaitu para tokoh adat dan orang-orang tua.

Menurut salah seorang tokoh adat di Dante, Desa Baruka, ketika berdialog dengan beliau, katanya masyarakat sekarang sudah mulai membawa kopi ke sawah, tapi minumnya harus keluar dari petak sawah. Tapi yang pasti masyarakat Bungin masih mematuhi larangan ini di beberapa tempat.

Keterangan: Tulisan ini diramu dari hasil wawancara dengan beberapa tokoh di antaranya Ibing (tokoh masyarakat Desa Sawitto, Duwira (petani kopi typica), Sikecong (petani kopi), Lantengi (Arung Baruka), Tali (tokoh adat Dante Desa Baruka).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *