Persepsi Pembelajar Terhadap Gagasan Ivan Illich

Oleh Irsan (pustakawan)

Mungkin tidak banyak yang mengiyakan gagasan Ivan Illich secara praktik ketika ia mengenalkan karyanya “Deschooling Society”. Terutama bila yang membacanya adalah pelajar yang notabene mendapatkan pengetahuan lewat jalur formal (sekolah). Tapi bukannya Ivan Illich menghalangi untuk tetap bersekolah hingga tinggi, yang dikritiknya ialah sekolah bukan wahana tunggal memperoleh pengetahuan.

Kritik itu berangkat dari berbagai sorotan terhadap sekolah yang dilihatnya justru menjauhkan manusia dari lingkungan dan realita kehidupan. Sekolah tampaknya tidak hadir membentuk manusia yang merdeka ketika dominannya institusionalisasi pengetahuan, alih-alih menjadi subyek dalam pendidikan. Kenyataan yang diamati bahkan menjadikan sekolah seperti komoditi saat aksesnya mulai mahal bagi sebagian orang.

Catatan singkat di atas merupakan poin-poin yang disinggung oleh Rusman dalam kapasitasnya sebagai pembahas pada Bincang Buku Bab 2 “Pendidikan Posmodernisme” yang dilaksanakan di Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang. Acara yang sifatnya masih minor secara kuantitatif ini mampu memancing persepsi 6 orang pesertanya. Justru dalam jumlah ini, bincang buku berlangsung dialektis dan sudah berupaya melakukan kontekstualisasi wacana dengan kondisi aktual di Enrekang.

Ketika membenturkan gagasan Ivan Illich dengan identitas atau status, kepekaan terpancing dengan mencoba menyatakan posisi yang hendak dipilih oleh masing-masing peserta. Fadli Bumi yang cukup antusias mendengarkan perbincangan, masuk memberi testimoni kritisnya dengan gagasan yang tidak memaksa peserta menjawab secara eksplisit argumennya. Ia seakan dilematis pula saat ia memahami tawaran Ivan Illich, karena sekolah yang dikritiknya adalah bagian dari yang pernah diakses. Termasuk bahwa tiket berbicara secara logis itu, boleh jadi karena memang efek implisit dari bersekolah.

Tampaknya ia juga mengajukan kritik saat banyak pekerjaan saat ini seakan memastikan seseorang berpengetahuan semata dari lampiran ijazah. Padahal jika kita mau melihat kenyataan, era keterbukaan informasi ini rupanya membuka pintu bagi siapa saja mengakses pengetahuan di mana saja, tanpa harus bersekolah. Bukankah ini yang diinginkan oleh Ivan Illich sebagai alternatif bahwa belajar tidak harus di sekolah. Atau misalnya ketika Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan yang muda itu mengusung “Merdeka Belajar”.

Tentu saja, gagasan seperti itu bagi pustakawan adalah narasi yang dapat membantu kita untuk mencoba menjadikan perpustakaan sebagai ruang alternatif belajar yang demokratis. Namun tidak berarti bahwa pustakawan hendak memunggungi kenyataan sekolah (baca juga: sekolah tinggi) dan perpustakaan sekolah. Tapi bisa dijadikan kritik yang metodologis, atau ‘kritik yang praksis’ misalnya dengan mengaktifkan Bincang Buku.

Jadi ketika sekolah tak mampu memaksimalkan ikatan institusi dalam membangun kultur membaca, maka perpustakaan umum bisa mencoba menangkap tantangan tersebut. Memang interaksinya tak seintens dan punya feedback berupa penilaian, tetapi pustakawan bisa saja menjalin komunikasi efektif dan empatik dalam agenda ‘pencerahan’. Tujuannya agar terjaring pelajar yang mendapatkan akses pengetahuan secara demokratis, keluar dari pakem kurikulum yang dipelajari di sekolah. Dengan cara begini, perpustakaan umum dapat dimaknai sebagai representasi kemandirian belajar. Maka baiknya ketika seseorang memasuki perpustakaan, termasuk pelajar, kita dapat memanggilnya pembelajar. Karena istilah pembelajar ini akan mengilustrasikan upaya manusia belajar dan menikmati pengetahuan di mana saja.

Mendudukkan gagasan Ivan Illich di luar sekolah memang kelihatannya menarik. Tetapi gagasan Ivan Illich tersebut haruslah kita dorong agar menyentuh dengan sungguh-sungguh masalah sekolah itu sendiri. Walaupun Ivan Illich sendiri tidak menawarkan dengan jelas praksis atau teknis pelaksanaan dari gagasannya setelah kontribusinya melakukan kritik. Maka di sinilah para peserta Bincang Buku mencoba memikirkan posisinya ketika kembali berinteraksi dengan guru dalam ruang/kelas.

Yang menarik pula sebenarnya kita amati dari perbincangan itu, ketika Musa mengambil pelajaran dari gagasan Ivan Illich. Karena seolah relevan dengan apa yang sedang digiatkan perihal wisata edukatif. Ia mencerna betul gagasan Ivan Illich yang dilontarkan Rusman sebagai respon yang positif untuk mengisi aktivitas luar sekolah dengan nuansa belajar di Bukit Hijau Malino, Batu Mila. Pertautan belajar di luar sekolah sebenarnya bisa memberikan angin segar bagi sekolah.

Rasanya Ivan Illich memang mengantarkan pembebasan, tapi masih dalam catatan refleksi. Tugas pesertalah berikutnya untuk memutuskan apa yang perlu dipetik dari bincang itu dalam suatu aksi. Atau memilih hanya berhenti pada pengetahuan itu sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *