Suhartini Ungkap Makna Khimar Merah Dihadapan Para Santri

“Apakah puisi bisa dimakan? Apakah bisa membikin perut kenyang,” demikian pembelaan Ambe Toa. “Lagipula, jurusan yang kau bangga-banggakan itu tidak mampu menjawab persoalan kemiskinan.”

Potongan cerita di atas adalah bagian dari buku Khimar Merah yang ditulis oleh Ilham MR pada halaman 123. Sebuah dialog yang kira-kira menunjukkan perbedaan dalam opsi masa depan lewat pilihan jurusan, antara keinginan orang tua dengan anaknya. Cuplikan tersebut juga mengilustrasikan tentang pertanyaan, apakah puisi atau katakanlah sastra dapat menjawab persoalan seperti kemiskinan. Jika diteruskan ke konteks gelaran Kulibuku Fest, pertanyaan kira-kira yang muncul dalam benak peserta, apakah literasi bisa membawa kesejahteraan?

Novel Khimar Merah merupakan novel yang berkisah mengenai dunia pesantren. Meskipun kisahnya terjadi di pesantren dengan kehidupan santri namun isu-isu lain seperti budaya, lingkungan hidup, juga tak luput dari kisah dalam novel tersebut. Respon terhadap dunia luar, juga merupakan suatu kepekaan yang muncul dari kalangan santri yang selama ini berdiam dalam sebuah asrama.

Perihal novel Khimar Merah yang telah diberi catatan singkat di atas, telah didiskusikan untuk yang kedua kalinya. Pada minggu kedua oktober lalu, terasa spesial sebab diskusi buku ini digelar di tempat di mana buku ini diterbitkan. Ditambah oleh pengulas buku yang juga merupakan guru pesantren yang memang menekuni dunia sastra, khususnya puisi dan cerita lokal. Ialah Suhartini yang menjadi pembahas.

Selama 2 jam lebih, Suhartini yang juga penulis buku Pajujung Dapok itu, membahas konten dari buku Khimar Merah. Dalam proses pembahasannya, ia juga menyelipkan cara menulis kepada para peserta yang didominasi oleh santri.

Suhartini mengawali pembahasannya mengenai buku Khimar Merah dengan menerangkan cover buku yang menggambarkan sesosok perempuan yang berhijab merah. Menurutnya, simbol merah dilekatkan dengan keberanian, kalau istilah kekinian kita biasa dengar kata “menyala”. Namun ketika masuk dalam konteks pesantren yang diceritakan oleh Ilham MR, tentu simbol merah memiliki makna tyang berbeda.

“Ketika saya membaca buku yang diserahkan penulisnya, di bagian awal itu diperkenalkan toko Male. Nah ada satu kata yang saya temukan, tahu-tahu ada hotel di pinggir sawah. Ternyata hotel yang dimaksud bukan artian sebenarnya, tapi diksi itu digunakan sebagai tempat istimewa bagi santri yang mungkin agak bebal, lari dari tanggungjawabnya, karena berbeda tanggungjawab di sekolah umum dengan pesentren”, ujar Suhartini.

Ketika kita digempur karya sastra dari luar, bagi Suhartini membaca novel Khimar Merah juga tampak mencoba mengangkat unsur lokal yang dihadirkan oleh penulis. Dari sosiologi pengarang, terdapat beberapa kata pula yang menunjukkan beberapa pengalaman yang mungkin berangkat dari penulis. Bagi Suhartini, penulis berusaha menjelaskan realitas sosial yang terjadi, seperti isu lingkungan dan kisah romantisme tentunya.

Diskusi yang digelar hingga siang itu, juga menjadi pemantik bagi para peserta untuk mulai belajar menulis, khususnya cerita fiksi. Para peserta yang mendengarkan penjelasan Suhartini, sekali-kali membuka lembaran buku Khimar Merah yang dibagikan secara gratis kepada seluruh peserta yang hadir dalam kegiatan tersebut.

Ilham sendiri, dalam pernyataan penutupnya, berupaya mendorong agar peserta yang hadir mulai mengangkat lokalitas Enrekang dalam bentuk cerita. Menurutnya, informasi tentang Enrekang sudah banyak dijumpai di media, namun berbeda ketika dituliskan dalam genre fiksi, karena ada banyak hal yang dapat dieksplorasi dan mengantar imajinasi tentang lokalitas Enrekang.

Di akhir acara, Irsan, yang merupakan Ketua Kulibuku, juga menekankan bahwa membaca dan menulis karya sastra yang memuat unsur lokalitas seperti novel dan puisi, memang bisa dijadikan sebagai wahana yang dapat menguatkan literasi sekaligus mengungkap hal-hal baru mengenai Enrekang.

Bagi Irsan, menulis juga merupakan cara untuk menawarkan banyak solusi atas beragam problem, memang secara eksplisit tidak populis dalam narasi pembangunan, namun dibutuhkan sebagai pengingat dan memicu daya imajinasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *