Keagungan Sepuluh Dzul-Hijjah Menurut Ulama Muktabar

oleh Dr. Ilham Kadir, MA (Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca Kabupaten Enrekang)

“Jika pedagang lengah pada waktu-waktu seharusnya meraup untung besar, maka, kapan lagi ia akan mendapat keuntungan. Idzā ghafala at-tājir ‘an mūsim ar-ribh famatā yarbah?” kata Ibnul Jauzi.

Di antara tanda-tanda orang berilmu adalah mengetahui waktu-waktu tertentu yang memiliki nilai tambah dibandingkan dengan waktu lainnya. Sebab terdapat banyak waktu yang Allah ciptakan untuk hamba-Nya memiliki keistimewaan dan keagungan. Sebagaimana Firman-Nya, “Dan Tuhanmu yang menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki, wa rabbuka yakhluq man yasyā’ wa yakhtār”, [al-Qashash: 68]. Kata Ibnu Rajab, “Ini merupakan dalil bahwa amalan yang kecil pada waktu yang utama menyaingi amal utama pada waktu yang biasa, yaitu ganjaran pahalanya dilipatgandakan”, (Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathā’if al-Ma’ārif fīmā Limawāsim al-‘Ām min al-Wazhā’if, 2010).

Di antara waktu-waktu yang memiliki keagungan adalah bulan-bulan haram. Namun kata ‘haram’ di sini bermaksud ‘mulia’, bukan haram menurut hukum  fikih. Terdapat empat bulan mulia, yakni, tiga di antaranya berturut-turut yaitu: Dzul-Qa’dah, Dzul-Hijjah, dan Muharram, sementara bulan Rajab diapit antara bulan Jumadil-Ula dengan Sya’ban. Keempat bulan tersebut merupakan waktu-waktu yang memiliki kekhususan di bandingkan dengan lainnya. 

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan bahwa Abdullah bin Abbas mengatakan, “Allah menjadikan bulan-bulan ini—Dzul-Qa’dah, Dzul-Hijjah, Muharram, Rajab—sebagai bulan-bulan suci, mengagungkan kehormatannya, serta menjadikan dosa yang dilakukan pada bulan-bulan ini menjadi lebih besar nilainya, dan menjadikan amal shalih serta pahala pada bulan ini lebih besar”, (Tafsir ath-Thabari, VI/366). Sementara itu, al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan bahwa bulan-bulan yang diharamkan [disucikan] itu hanya empat. Tiga bulan secara berurutan dan satu bulan berdiri sendiri lantaran adanya manasik haji dan ibadah umrah. Maka, ada satu bulan yang disucikan yang letaknya sebelum bulan-bulan haji yaitu bulan Dzulqa’dah karena ketika itu mereka menahan diri/berhenti dari berperang. Dan diharamkan bulan Dzul-Hijjah, karena pada bulan ini mereka menunaikan ibadah haji, dan sibuk dengan ritual manasik haji. Dan diharamkan satu bulan setelahnya, Muharram, supaya mereka bisa Kembali dari menunaikan ibadah haji untuk pulang ke kampung halaman masing-masing dengan aman dan damai. Ada pun bulan Rajab juga masuk kategori bulan haram agar memudahkan orang-orang yang berada di pinggiran/pelosok negeri Arab apabila ingin berziarah ke Baitullah [umrah]. Mereka bisa berangkat dan pulang dalam keadaan aman, (Tafsir Ibnu Katsir, IV/148).

Keistimewaan Awal Dzul-Hijjah

Namun, di antara keempat bulan haram tersebut, terdapat hari-hari yang sungguh istimewa dan diagungkan oleh para ulama muktabar serta menjadi perhatian khusus para ulama salaf, berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat, Wal-fajr wa layāl al-asyr, Demi Waktu Fajar dan malam-malam yang sepuluh (QS. Al-Fajr: 1-2). Bahwa yang dimaksud dengan ‘malam-malam yang sepuluh’ adalah sepuluh pertama di bulan Dzul-Hijjah. Perkataan ini dikutip dari pernyataan Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Mujahid, dan para ulama salaf lainnya. 

Pendapat para ulama muktabar di atas bukan tanpa alasan, sebab banyak dalil as-Sunnah pendukungnya. Nabi bersabda, Hari yang terbaik pada seluruh hari-hari di dunia adalah sepuluh pertama Dzul-Hijjah, Afdhalu ayyām ad-Dunyā ayyām al-‘asyr, (Shahih al-Jāmi’: 1133). Dalil lainnya, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah bersabda, Tidak ada hari-hari di mana amal saleh sangat Allah cintai melebihi sepuluh hari pertama Dzul-Hijjah. Lalu para sahabat yang mendengarkan bertanya keheranan. ‘Wahai Rasul Allah, apakah lebih baik dari orang berangkat untuk berperang di jalan Allah?’ maka, Nabi menjawab, ‘Juga mengalahkan orang yang keluar berperang membela agama Allah. Kecuali jika seorang laki-laki berangkat berperang dengan membawa segenap harta benda dan jiwanya, lalu wafat di medan perang!’, (HR. al-Bukhari: 969; at-Tirmidzi: 757; Abu Dawud: 2438; Ibnu Majah: 1727; Ahman, 3228).

Tidak berlebihan jawaban Ibnu Taimiyah ketika ditanya terkait kemuliaan sepuluh pertama Dzul-Hijjah dibandingkan dengan sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Jawabnya, Hari-hari pertama pada sepuluh Dzul-Hijjah lebih utama dibandingkan dengan bulan Ramadhan. Demikian pula, sepuluh malam terkahir Ramadhan lebih utama daripada sepuluh malam pertama Dzul-Hijjah. Fatwa Ibnu Taimiyah di atas dijelaskan oleh muridnya, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, katanya, “Kalau kita renungkan secara mendalam terkait jawaban di atas, maka kita akan menemukan dengan sangat sempurna, sebab tidak ada hari-hari yang di mana amal saleh lebih Allah cintai  dari sepuluh hari pertama Dzul-Hijjah, sebab di sana terdapat ‘Hari Arafah, Hari Nahar, dan Hari Tarwiyah’. Ada pun sepuluh malam terakhir pada bulan Ramadhan adalah malam-malam yang hidup di mana Rasulullah menghidupkan seluruh malam-malam tersebut. Dan, di dalamnya ada satu malam yang nilainya lebih mulia dari seribu bulan. Dan siapa pun yang datang membawa jawaban selain jawaban di atas, maka tidak mungkin mampu menunjukkan argumen yang lebih otentik. 

Berkata Ibnu Rajab, “Sesungguhnya Allah mencintai tiga sepuluh: Sepuluh pertama di bulan Dzul-Hijjah, sepuluh pertama di bulan Muharram, dan sepuluh terakhir di bulan Ramadhan”. Demikian pula, berkata Abu Utsman an-Nahdi, Para Salaf ash-Shalih mengagungkan tiga sepuluh, sepuluh pertama Muharram, sepuluh pertama Dzul-Hijjah, dan sepuluh terakhir Ramadhan.

Karena itu, Ibnu Taimiyah dalam fatwanya menyampaikan agar mengisi sepuluh awal Dzul-Hijjah dengan memaksimalkan berbagai jenis ibadah, siang dan malam sebab nilainya lebih tinggi daripada jihad, di mana amal-amal saleh tersebut tidak memiliki risiko yang dapat melenyapkan harta dan menghilangkan nyawa—sebagaimana orang berperang. Dengan alasan inilah, Said bin Jubair jika masuk sepuluh pertama Dzul-Hijjah maka ia beribadah dengan penuh kesungguhan hingga pada tahap tertentu tidak mampu lagi menambah ibadahnya karena banyaknya!

Lalu ibadah apa saja yang menjadi bagian penting dari amal saleh yang mampu kita lakukan? Tentu banyak sekali, namun berikut ini dapat diusahakan oleh setiap umat Islam:

Pertama. Menjaga shalat berjamaah dan memperbanyak shalat sunnah. Tidak ada keraguan bahwa ibadah yang terbaik adalah shalat baik fardhu maupun sunnah. Dengan menjaga shalat berarti telah menjaga dan menghidupkan agama, dengan meninggalkan shalat berarti meninggalkan bahkan merubuhkan agama. Dan tentu saja, shalat yang terbaik adalah yang dilakukan pada sepuluh pertama Dzul-Hijjah. Termasuk menjaga shalat sunnah rawatib atau yang mengikuti shalat fardhu, dan lebih sempurna jika mendirikan shalat sunnah dhuha, shalat tahajjud, dan ditutup dengan witir. Mereka yang menjaga shalat fardhu maupun sunnah disebut sebagai ‘min ahl ash-shalāh’ dan berhak melewati salah satu gerbang surga pada hari kiamat kelak. Dalil-dalil keutamaan menegakkan shalat, dan hukuman dan ancaman bagi yang meninggalkan shalat tidak perlu disebut di sini.

Kedua. Memperbanyak berpuasa, Ibnu Rajab mengutip Riwayat dari Abdurrazzaq berdasarkan riwayat dari Ja’far dari Hisyam dan Hasan, ia berkata, “Puasa sehari dari sepuluh hari bulan Dzul-Hijjah sama nilainya dengan puasa dua bulan”. Walaupun Ibnu Sirrin mengoreksi riwayat ini dengan menekankan bahwa ia tidak suka jika dikatakan ‘berpuasa selama sepuluh hari sebab dapat mendatangkan kerancuan tentang puasa pada hari kesepuluh, Idul Adha. Lebih baik dikatakan berpuasa selama sembilan hari’. Maksudnya, adalah berpuasa sejak awal Dzul-Hijjah hingga hari kesembilan. Di antara Sahabat Nabi yang berpuasa sejak awal Dzul-Hijjah hingga jelang Idul Adha adalah Abdullah bin Amr, sedangkan ulama salaf yang mengikutinya, antara lain, Hasan, Ibnu Sirin, dan Qatadah. Bersumber dari salah satu Istri Nabi, ia menceritakan bahwa Rasulullah puasa pada hari kesepuluh Muharram [‘asyura], dan hari kesembilan Dzul-Hijjah, (HR. An-Nasa’i: 2372). 

Tidak diragukan lagi, berpuasa selama sembilan hari pada awal Dzul-Hijjah adalah yang terbaik, namun jika tidak mampu, maka boleh memilih pada hari ke berapa saja ia ingin berpuasa. Namun, nilai puasa sunnah tertinggi jatuh pada hari kesembilan, sebagaimana dinarasikan dalam sebuah hadis, dari Abu Qatadah Nabi ditanya tentang puasa Arafah lalu ia menjawab, ‘Puasa Arafah akan menggugurkan dosa-dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang’, (HR. Imam Muslim). Dan sebaiknya, puasa Arafah disandingkan dengan puasa Tarwiyah yakni puasa pada hari kedelapan Dzul-Hijjah.

Ketiga. Memperbanyak sedekah. Berkata Ibnu Ustaimin, Nilai sedekah yang dikeluarkan pada sepuluh pertama Dzul-Hijjah lebih dicintai Allah daripada sedekah yang dikeluarkan pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, (ash-Shadaqah fī ‘asyri dzī-hijjah ahabb ilāllaāh min ash-shadaqah fī ‘asyr ramadhān). Berkata Ibnu Hajar, Pada dasarnya yang menjadikan sepuluh awal Dzul-Hijjah ini nilainya lebih tinggi sebab di dalamnya terhimpun induk para ibadah seperti shalat, puasa, sedekah, hingga haji yang tidak pernah ada pada waktu lain, (Fath al-Bārī, II/534). Dan sedekah paling agung jatuh pada ibadah qurban yang dilakukan pada tanggal sepuluh Dzul-Hijjah. Dari Aisyah, menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam [manusia] pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya”, (HR. at-Tirmidzi: 1413; dan Ibn Majah: 3117). Dan tentu yang terbaik adalah rutin bersedekah sejak awal bulan lalu disempurnakan dengan menyembelih hewan kurban pada hari kesepuluh Dzul-Hijjah atau hari-hari tasyriq berikutnya.

Keempat. Memperbanyak zikir. Berkata Ibnul Qayyim, Terbaik adalah, pada sepuluh pertama Dzul-Hijjah agar memperbanyak ibadah seperti [dzikir] takbir, tahlil, dan tahmid. Dan, lebih utama dari jihad. Anjuran untuk banyak berdzikir juga ditegaskan oleh Ibnu Abbas, berdasarkan firman Allah, “Wayadzkurū ismallāh fī ayyām ma’lūmāt, Agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang ditentukan”, (QS. Al-Hajj: 28). Kata ‘fī ayyām ma’lūmāt’ atau ‘waktu yang ditentukan’, menurut Ibnu Abbas adalah ‘sepuluh hari pertama Dzul-Hijjah’. Dipertegas oleh Imam an-Nawawi, “Ketahuilah sesungguhnya sangat dianjurkan untuk memperbanyak dzikir pada sepuluh pertama Dzul-Hijjah dibandingkan hari selain itu, dan paling dianjurkan lagi adalah makin menambah jumlah zikir pada hari Arafah, (Imam an-Nawawi, al-Adzkār). Diriwayatkan bahwa suatu ketika, Ibnu Umar Bersama Abu Hurairah keduanya keluar ke pasar pada hari-hari sepuluh pertama Dzul-Hijjah, lalu keduanya mulai mengucap takbir [Allāhu Akbar], lalu manusia pun mengikutinya, dan seisi pasar bertakbir, (HR. Bukhari: 1/329, dan disahihkan oleh Albani). Terlalu banyak dalil terkait perintah untuk memperbanyak zikir, dan tentu lebih utama jika dilakukan pada waktu istimewa, dan zikir-zikir seperti memperbanyak takbir [Allāhu akbar], tahlīl [lā ilāha illāllā], tasbih [subhānallāh], tahmīd [alhamdulillāh], dan kalimah thayybah lainnya, dapat dilakukan pada waktu-waktu lapang dan sibuk, karena tidak terlalu menyita tempat dan waktu secara khusus.

Kelima. Memperbanyak mengaji atau baca Qur’an. Berkata Ibnu Utsaimin, Saya mendorong kepada saudara-saudara dari kaum muslimin untuk mengoptimalkan waktu yang agung pada sepuluh pertama Dzul-Hijjah dengan mengisi berbagai amal shalih, seperti membaca al-Qur’an, memperbanyak zikir seperti takbir, tahlil, tahmid, tasbih, sedekah, puasa, dan berbagai jenis amal shalih lainnya, (Majmū’ Fatāwāa wa Rasā’il al-‘Utsaimīn, 21/37). Membaca al-Qur’an adalah ibadah agung yang nilainya dihitung per huruf, satu huruf saja akan mendatangkan sepuluh kebaikan pada hari-hari biasa, dan tentu nilainya akan dilipatgandakan pada hari-hari mulia, terutama sepuluh pertama Dzul-Hijjah. 

Maka, hari-hari yang agung ini sangat disayangkan jika terlewatkan begitu saja, sebagaimana petuah Ibnul Jauzi, “Jika pedagang lengah pada waktu-waktu seharusnya meraup untung besar, maka kapan lagi ia akan mendapat keuntungan?” Maka, jangan lewatkan waktu-waktu yang agung untuk beribadah agar mampu menambah pundi-pundi amal kita, maka kalau bukan sekarang, kapan lagi? Sementara ajal semakin mendekat. Wallahu a’lam!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *