Sebuah buku terbit dengan semangat transformatif berjudul Al-‘Alaq: Bacalah! Adalah Eko Prasetyo yang menyuguhkan sebagai bahan bacaan baru. Terbitnya pada 2018 ini, seakan menyambut berbagai peristiwa aktual yang kini dipercakapkan publik. Tafsir Eko Prasetyo sekaligus mengandung romantika yang berfungsi untuk mengajak pembacanya menyelami nilai-nilai Islam yang progresif. Ia menguak kembali fakta sejarah dengan sosok yang begitu disegani dalam tradisi intelektual islam.
Karya Eko dibuka dengan sebuah pengantar tentang iman, buku dan ancaman kemanusiaan. Ia bercerita dari masa kecilnya yang dihiasi dengan buku dan Koran. Didukung oleh kedua orangtua yang senang bila ia membaca. Saat ia belajar di pondok, ia menemukan bacaan yang menarik hatinya. Bersentuhan dengan bacaan yang provokatif dan kritis seakan menguggahnya mengenal Islam sebagai spirit perubahan sosial. Hingga ia meyakini bahwa buku tak sekedar bacaan tapi juga senjata.
Berbekal spirit itu, ia kemudian menceburkan diri dalam dunia kepenulisan. Ia memilih aktif di lembaga pers mahasiswa, dan lewat itulah ia mengenal beragam ide-ide dari pemikir dunia seperti Karl Marx, Paulo Freire, Antonio Gramsci hingga Michael Foucalt. Ia seakan mendapat auranya di kota pelajar yang hidup dengan wacana segar perubahan. Mengasa kemampuannya dengan mengikuti berbagi lomba menulis. Hingga buku menjadi kawan hidupnya sampai saat ini.
Kesadaran akan pentingnya buku bagi dirinya, diakui menjadi pengantar untuk menggali surah al-alaq. Wahyu pertama: iqra, dianggap sebagai wahyu yang memiliki pesan yang begitu progresif dalam mengajak manusia berpengetahuan. Perintahnya berlaku abadi, sehingga seakan relevan dengan fungsi perpustakaan dalam membawa manusia menjadi pembelajar sepanjang hayat. Baginya, pengetahuan adalah jalan menuju iman.
Narasi selanjutnya yakni titah untuk membaca dalam surah al- alaq. Ia membenturkan data dan fakta tingkat literasi yang rendah di Indonesia dengan kondisi keummatan. Melihat muslim yang tidak lagi menjadikan iqra sebagai nafas menggali pengetahuan. Katanya pengetahuan menjelma jadi instrumen praktis yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sempit. Efek yang diilustrasikan ialah terjadinya berbagai pertikaian antar kalangan muslim. Bukannya rendah hati dan memaknai pesan al-alaq sebagai jembatan pengetahuan menuju keridhaan-Nya.
Bab berikutnya, Eko Prasetyo menampikan beberapa ilmuwan Islam sebagai tokoh yang memiliki pengaruh dalam kancah ilmu pengetahuan. Sosok yang dimaksud ialah Al-Ghazali, Ibn Sina, Ibn Hazm, dan Muh Iqbal.
Pertama, Eko membuka kekagumannya dengan mengutip al-Gazali dengan pesan bahwa siapa saja yang tidak mencintai pengetahuan berarti hatinya sakit dan kematiannya telah pasti. Kritiknya tertuju pada ulama yang bergelimang kekuasaan dan kemegahan. Eko banyak mengutip tulisan Al-Ghazali yang dianggap mendorong agar ulama terlibat dalam berbagai pergolakan sosial. Karenanya Eko merindukan ulama berperan dalam dinamika sosial, tidak sekedar tampil dalam panggung massa dan televisi. Eko pun tak sungkan menyebut iman tanpa pengetahuan akan menciptakan kebuasaan dan pengetahuan tanpa iman hanya melahirkan kebutaan.
Sosok selanjutnya yang dihidupkan kisahnya ialah Ibnu Sina. Sama dengan sebelumnya, bab ini dibuka dengan kutipan yang bijak. Katanya tak ada penyakit yang tak bisa disembuhkan kecuali kemalasan, tak ada obat yang tak berguna, selain kurangnya pengetahuan. Seakan obat yang sesungguhnya dibuat oleh Ibnu Sina dalam dunia kedokteran adalah pengetahuan.
Temuannya menjadi inspirasi hingga kini, dan keistimewaan yang dimiliki Ibnu Sina diantaranya menghafal isi al-Qur’an di usia 10 tahun, lalu belajar otodidak pada ilmu filsafat, logika, geometri, kedokteran, fisika dan astronomi. Karena itu kecintaanya pada ilmu pengetahuan tak diragukan. Hal ini berbeda dengan zaman sekarang yang membaca hanya dilakukan mayoritas pelajar formal (dalam berbagai tingkatan) dengan keilmuan khusus. Berbeda dengannya yang pembelajar, yang kapan dan dimanapun bisa belajar dan dilakukan sepanjang hayat. Andaikan muslim Indonesia mengikuti jejaknya, niscaya perpustakaan dapat menjadi tempat yang favorit.
Berikutnya sosok Ibn Hazm yang memancarkan semangat cinta lewat puisi. Bait puisinya senantiasa bersandar pada iman untuk merespon persoalan. Menjunjung nilai keadilan dan empati pada kaum lemah. Itulah yang dikagumi Eko Prasetyo, sehingga mengangkat sosok Ibn Hazm, sekaligus otokritik atas keringnya rasa cinta pada petani yang digusur atau buruh yang tertindas.
Lalu sosok yang terakhir adalah Muh. Iqbal. Seorang ilmuwan menyeruh ummat untuk keluar dari sikap yang jumud dan ketaatan yang buta. Ikbal mempelajari konsep Barat tetapi melihatnya secara kritis. Baginya agama memiliki spirit yang terbuka dan bergerak dalam kebaruan, bukan ritualisme yang baku.
Akhirnya buku Eko ini semacam medium untuk mengembalikan semangat berpengetahuan dalam lingkungan umat Islam. Dengan berbagai implikasi yang telah terbukti bagi sejarah peradaban Islam, sekali lagi makna al-alaq (iqra) perlu diaktualisasikan dalam kehidupan.