Seorang enterprener melakukan refleksi pada setiap usaha yang diputuskan. Pada proses itulah, ia berpikir secara mendalam. Bahkan tidak hanya berpikir, tetapi juga membuat suatu kebaruan (kreasi) terhadap kelangsungan usaha yang ditekuninya. Melakukan analisis dan melihat resiko sebagai bagian dari proses kewirausahaan. Lebih dalam dari itu, enterprener (wirausaha) yang menyandarkan usahanya pada makna tertentu, sesungguhnya telah berfilsafat dalam praktiknya yang sederhana.
Upaya melihat dunia kewirausahaan dalam perspektif filsafat ini dapat ditemukan dalam buku Musa Asy’arie “Filsafat Kewirausahaan dan Implementasinya”. Buku Asy’arie ini menerangkan beberapa pendekatan filsafat dalam menguraikan kewirausahaan, yang mencakup filsafat materialisme, idealisme, eksistensialisme, aksiologi, teologi, kosmologi dan antropologi.
Musa Asy’arie memandang enterprener pada dasarnya juga seorang pemikir. Menurutnnya seorang enterprener yang berpikir secara filsafat memiliki pemaknaan yang dalam terkait dunia bisnis.
Seorang enterprener yang punya prinsip, ia tidak akan mudah menyerah. Karena dalam bisnis, dinamika jatuh bangun merupakan tantangan yang senantiasa menanti. Karakter enterprener yang seperti itu, sanggup menghadapi resiko kerugian kapan pun mengintai. Termasuk memiliki kejujuran dan membangun kepercayaan sebagai jaminan survive dalam dunia usaha.
Enterprener yang usahanya tidak hanya berorientasi profit, sejatinya memiliki nilai untuk kehidupan sosial. Ia merajut bisnis dengan energi yang sejalan dengan pembangunan ekonomi nasional. Memberdayakan potensi yang ada di sekelilingnya sehingga mendorong pemerataan dan peluang ekonomi bagi sesama.
Selain membicarakan terkait karakter yang ideal bagi enterprener, Asy’arie juga membahas politik kewirausahaan dengan mula-mula menyoroti revolusi mental. Gagasan revolusi mental yang mengharapkan sumber daya manusia yang berkarakter, nyatanya paradoks kala negara lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi. Apalagi Asy’arie berpendapat pembangunan ekonomi justru akan menyeret bangsa dalam kehidupan materalisme, hedonisme dan konsumersime bilamana pendidikan karakter tak kunjung mendapatkan prioritas dan komitmen yang serius.
Untuk itu, ia menekankan pendidikan kewirausahaan yang diajarkan secara teoritik di kampus dan pelatihan-pelatihan seharusnya bisa mengembangkan dunia kewiraan dengan pendekatan nilai. Di samping itu, pendidikan kewirausahaan dapat dimulai dari keluarga, terutama keluarga yang punya usaha agar kelak generasimya diwariskan pengalaman bisnis.
Demikian halnya, ia menegaskan pendidikan ekonomi bangsa seharusnya menjawab realitas kemiskinan, bukan malah anti realitas. Seorang yang belajar ekonomi tidak saja terpaku pada keinginan menjadi pekerja profesional, tapi bisa menempuh jalan enterprener yang mampu membukakan peluang kerja. Seperti halnya, pendidikan yang mengajarkan integrasi antara sains dengan etika. Bentuk perpaduan ilmu dan iman itu yang akan mengokohkan karakter calon enterpener.
Buku ini juga menawarkan suatu konsep kewirausahaan yang dilandasi dengan nilai-nilai kebermanfaatan. Ia mengantar kita memahami dunia usaha sebagai jalan hidup yang punya makna hakiki. Tidak membiarkan kita berbisnis hanya untuk keuntungan diri semata, melainkan berpikir untuk sesama dan bangsanya.
Buku ini bisa diakses di Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang. Semoga dengan Anda membaca review buku ini, anda berminat melangkah ke perpustakaan dan menjumpai kami.