Membangun Literasi di Perpustakaan Masjid

Literasi bagi islam merupakan hal yang fundamental. Hal ini berangkat dari ayat suci Al-Quran yakni Iqra (QS,al-Alaq:1), yang menganjuran untuk membaca. Secara eksplisit membaca yang dimaksud memang tidak langsung tertuju pada teks, tetapi membaca dalam arti yang luas. Namun membaca teks kemudian menjadi penting bagi manusia saat ingin menemukan kembali ingatan yang terdokumen dan menyerap pengetahuan serta menemukan artefak kebudayaan. Ini mengartikan bahwa literasi merupakan keniscayaan yang tidak dapat dielakkan dalam era informasi yang berbasis teks.

Semangat membaca ini dalam Islam telah menunjukkan impaknya, khususnya pada masa kekhalifaan bani Abbasiyah. Dinasti Islam pada saat itu memiliki perpustakaan dan pusat ilmu pengetahuan yang diberi nama Bait Al-Hikmah. Sejumlah perpustakaan masjid turut berkonstribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Di masa itu melahirkan banyak ulama pemikir dan cendekiawan muslim, hingga karyanya banyak dikembangkan ilmuwan setelahnya, baik dari Barat maupun Timur.

Kemajuan yang digerakkan Islam pada saat itu, tak pelak mengantar ke banyak penemuan dan inspirasi. Melalui pemikir Islam pulalah, mata rantai ilmu pengetahuan dari zaman sebelumnya dapat dinikmati oleh Barat, hingga menimbulkan kemajuannya. Inspirasi yang mereka peroleh tak lepas dari konstribusi Islam dalam melakukan “ekspansi” ilmu pengetahuan. Itu sebabnya, banyak perang yang berlangsung di masa lampau, sasaran utamanya justru ke penghancuran perpustakaan.

Indonesia dengan penduduknya yang mayoritas muslim sudah sepantasnya membangun budaya literasi melalui masjid. Apalagi sebenarnya tradisi membaca kitab suci di masjid atau pesantren sudah lama berlangsung dalam masyarakat Islam di Indonesia. Karenanya tradisi membaca bukanlah suatu hal yang baru, sekalipun bacaannya berfokus pada kitab suci dan buku amaliah Islam.

Dikatakan pula oleh Nurcholis Madjid bahwa apa yang dikenal sebagai zawiyat al-masjid adalah ruang atau pojok masjid yang digunakan untuk belajar-mengajar, juga merupakan cikal bakal pesantren. Ruang yang seperti itu dapat direpresentasikan dengan Perpustakaan Masjid. Tradisi demikian dapat menjadi pijakan yang baik untuk mengembangkan literasi di masjid.

Ikhtiar mengembangkan perpustakaan masjid di Indonesia sudah dimulai pada dekade 1990-an. Ini dapat dilihat dari terbentuknya Badan Pembina Perpustakaan Masjid Indonesia (BPPMI), yang pada 25 Februari 1991 dikukuhkan oleh Menteri Agama RI . Pembentukan tersebut didasari oleh usaha untuk mengembangkan dan menguatkan peran masjid sebagai pusat pembelajaran umat.

Hadirnya perpustakaan masjid perlu menyediakan bahan bacaan yang kaya terkait keislaman. koleksi yang variatif tentunya akan memperluas khazanah pengetahuan dan wawasan jamaah tentang Islam itu sendiri. Namun sebuah perpustakaan, juga harus melihat kebutuhan dan karakter masyarakatnya. Jika misalnya kebutuhan bacaan fikih lebih dominan, maka perpustakaan masjid dapat mengembangkan koleksi yang lebih baru dan lengkap. Pemetaan yang dihasilkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Keagamaan, Kementerian Agama juga menyatakan bahwa koleksi buku tema fikih menempati proporsi terbesar (18,67%) dibanding koleksi lainnya.

Kendati demikian, perpustakaan masjid mesti memotivasi jamaah memanfaatkan bacaan yang ada. Jamaah yang senang menyerap pengetahuan melalui ceramah, juga diberi stimulasi oleh penceramah bahwa apayang didakwahkan juga bersumber pada buku, dalam arti yang luas. Mereka diajak untuk memanfaatkan perpustakaan sebagai ikhtiar untuk maju. Walaupun sebenarnya ada banyak alasan yang melatarbelakangi kurangnya pemanfaatan perpustakaan masjid. Bahkan bisa pula karena jamaah kurang nyaman dengan nuansa yang moderat di lingkungan ibadah.

kembali ke fungsi masjid secara historis, sebagaimana pada awal Nabi Muhammad SAW membangun masjid, perannya lebih dari pusat peribadatan dan dakwah, tetapi juga diisi dengan aktivitas sosial kemasyarakatan dan pendidikan. Demikian Hariyah (2015) dalam bahkan mendorong perpustakaan masjid sebagai ruang yangmembagun kesadaran inklusif. Menurutnya, perpustakaan masjid punya peran yang strategis dalam membangun masyarakat yang well informed.

Selain itu masjid bisa dijadikan simpul penguat rasa kebangsaan dan mendorong pembangunan nasional. Konsep seperti ini juga diimpikan oleh Nurcholish Madjid dalam gagasannya tentang masjid-monumen Madinat al-Umran. Bagi Nurcholish Madjid, jiwa masjid semacam itu berorientasi pada nilai-nilai keislamanan yang berpadu harmonis dengan nilai-nilai keindonesiaan. Dan perpustakaan masjid adalah kelengkapannya yang bertujuan menginspirasi muslim Indonesia. Karena itu Prototip perpustakaan masjid pun meliputi egalitarianisme untuk kemajuan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *