oleh Irsan (Pustakawan)
Mengambil tema Kopi pada Pekan Literasi 2020 merupakan metode yang digunakan untuk membangun narasi lokal. Bicara Kopi tak sebatas pada makna minuman, petani atau merek dagang. Tetapi kopi dihadapan literasi adalah suguhan yang menyiratkan kesiapan berpikir dan energi kreatif.
Sudah pasti kita setuju, kopi Enrekang punya peluang menjadi ikon. Pelan-pelan penikmat kopi di luar daerah, tahu bahwa kopi Enrekang adalah salah satu yang terbaik. Apalagi beberapa kontes yang diikuti, Arabika Kalosi Enrekang dinobatkan sebagai pemenang.
Kopi di setiap daerah tentu punya keunggulan masing-masing. Dan yang menarik di Enrekang, kopi bertumbuh sepenuhnya di tangan petani. Lewat tenaga yang terampil, kopi dari kebun diambil buahnya hingga diolah dalam sebuah kemasan. Petani kopi di Enrekang tak puas hanya dengan menjual biji, tapi ia pun mampu menghasilkan sebuah produk. Berbeda dengan jenis tanaman lain yang tumbuh subur di Enrekang, hasil panennya yang melimpah kadang dikirim ke luar daerah untuk dipabrikasi. Di sini, sepertinya kopi menjadi spesial dan simbol keberdayaan.
Saat petani melakoni usaha kopi, sebenarnya ia punya kesempatan memutus rantai tengkulak. Meskipun tak semua dapat melakukan. Namun paling tidak, mereka telah mengetahui pasar kopi dan tidak pasrah dengan tawaran yang datang ke gubuk atau kebun mereka. Ekosistem bisnis kopi yang transparan di telinga petani, tidak mengucilkan usaha taninya.
Karena itu, kopi di Enrekang merepresentasikan gerak perubahan. Tidak saja secara ekonomi, tetapi juga potensi kreativitas yang seiring di dalamnya. Sejumlah brand memang muncul dengan variatif, tapi keberagaman itu menyiratkan semangat yang padu. Tak salah bila, kopi diperjuangkan dalam sebuah komunitas.
Kopi mampu menopang ekonomi kreatif, utamanya bila ditekuni kawula muda. Hal ini misalnya tampak dari berbagai kemasan (brand) kopi specialty, yang bersamaan dengan berdirinya kedai kopi. Dengan kopi, anak muda Enrekang kian yakin berdiam di desa, memperlihatkan transformasi dalam eksplorasi alam. Sedikit demi sedikit, tumpuan pada lokalitas mulai terasa menjanjikan masa depan.
Tiba di Kota Enrekang, kopi kini jadi medium yang dominan ditawarkan dalam ruang rehat. Melalui Warung Kopi (cafe dan semacamnya), kopi diilustrasikan sebagai titik bertemu dan berbincang. Semula rasa pahit pada kopi adalah jeda yang dicicipi dalam percakapan, namun kini dimaknai selaku kawan berpikir atau teman bekerja. Di kota, kesendirian bisa dihabiskan dengan secangkir kopi.
***
Jika kopi ibarat suplemen, maka ia bisa menjadi kawan ketika membaca buku. Dalam sejarah penulis, mungkin kopi adalah pendukungnya. Memang dalam kata pengantar, Sang Penulis tidak melampirkan ucapan terima kasih pada objek (kopi), selayaknya pemain di balik layar. Kita tahu tokoh seperti Habermas, yang menciptakn master piece ditemani bergelas-bergelas kopi.
Tautan kopi dengan dunia literasi begitu akrab. Kalau kita memahami psikologi manusia, memang seyogyanya membaca buku tak bisa dilakukan dalam keadan kosong. Maksudnya, dalam menyerap pengetahuan, tubuh pun membutuhkan daya tahan, karena itu suplai seperti kopi laiknya bahan bakar. Mungkin saja, ada yang menikmati bacaan seirama mencicipi kopi. Pengetahuan masuk ke dalam batin dan otak bersamaan dengan cita rasa kopi.
Kalau begitu kenapa tidak di tempat ngopi disediakan buku dan majalah, atau sebaliknya, di Perpustakaan Umum tersedia space yang bisa membaca sembari minum kopi. Seperti istilah coffee morning atau coffee break, buku dimasukkan sebagai menu percakapan. Kalaulah boleh, petugas pustaka ‘dipaksa’ membaca dan dibuatkan jam membaca dengan istilah coffee break, anggaplah setiap habis shalat jumat antara pukul 14.00-16.30. Jadi praktik membaca jadi tumbuh bersamaan. Bisa pula itu dilakukan di kantor-kantor lain, namun praktik membacanya mengarah pada baca laporan, data, atau informasi aktual terkait bidang kerjanya. Maka, rehat kopi artinya meluangkan untuk mengisi diri dengan pengetahuan dan refleksi kolektif.