Dari Diskusi Buku “Jejak Rumah Adat Duri”, Lanjut Kaji Lebih Dalam Budaya Massenrempulu

Mengawali Pekan Literasi, Dispustaka Enrekang meluncurkan buku tetang arsitektur Rumah Duri pada Selasa, 21 Februari 2023. Kegiatan  ini dihadiri sekitar 50-an peserta yang berasal dari berbagai unsur, mulai dari pemerintah, akademisi, pemerhati adat, pegiat literasi dan mahasiswa. Kesempatan tersebut menghadirkan penulis buku ‘Jejak Arsitektur Rumah Duri” dan sebagai pembedah yakni Prof. Munsi selaku Guru Besar Bidang Antropologi UNHAS. Keduanya merupakan putra asal Massenrempulu.

Zulkarnain AS selaku penulis bercerita bahwa pada tahun 2008, saat ayahnya bertugas sebagai Camat di Buntu Batu, ia berplesiran di daerah Salukanan hingga Bone-Bone, kemudian ia bertanya kenapa ada lumbung tapi rumahnya ‘rumah Bugis’.

“Kalau saya hanya sekedar how to read, maka saya bilang ini lumbung adalah rumah, selesai”, ujarnya.

Tapi ada konteks yang lain, ia melihat konteks how to understand, maka ia harus memahami kenapa ada ‘rumah Bugis’ kemudian ada lumbung. Pertanyaan yang terbesik dalam dirinya, “suku apa ini?” ujarnya.

Baginya, sebagai akademisi ia hadir untuk menyuarakan bahwa Massenrempulu itu suku bangsa melalui kajian akademik.

Buku “Jejak Arsitektur Rumah Duri” adalah hasil kajian pada tahun 2012. Buku pertama dari chapter 1, jadi untuk chapter 2 akan mengangkat rumah Enrekang, dan chapter 3 rumah Nusantara Maiwa.

Harapannya tahun depan, ia akan membuat satu ensiklopedi rumah arsitektur nusantara Massenrempulu. “Itu sudah hadir satu kajian akademik. Itu adalah tanggungjawab moril saya sebagai akademisi sekaligus arsitek.”

Menurutnya tidak ada suku yg punya lebih dari satu model rumah, dan Maspul punya tiga varian bentuk rumahnya. “Ini saya sudah kaji semua bahkan sudah diterbitkan secara internasional,” ujarnya.

Katanya yang menarik dan tantangannya rumah Duri ialah “sudah hilang sekarang,” habis ditelan zaman. Endekan masih eksis sampai sekarang diwakili oleh Kallupini, Maiwa diwakili oleh Limbuang, Matakali, Pasang.

“Jadi saya meriset 1,5 tahun untuk mencari bagaimana sebetulnya model rumah Duri yang hilang karena faktor sejarah, faktor DII/TII,” katanya.

Ia jelaskan bahwa orang Duri itu orang yang sangat menghargai tamu. Bukti pertama, rumah duri atapnya panjang ke bawah sehingga ada space di kiri-kanannya, ruang itu ditempatkan untuk menerima tamu pertama. Secara kajian empirik, kenapa harus panjang, karena suhu di Duri dingin sekali, supaya pada siang hari itu sejuk, tapi pada malam hari terasa hangat. “Itulah kecerdasan-kecerdasan orang tua.”

Yang menarik lainnya yang sempat disampaikan yakni lumbung dengan tiga varian. “Buku ini sebagai satu bagian pemantik, supaya ada proses pengakuan suku Maspul”, tutupnya.

Prof Munsi Lampe dalam kesempatannya menyampaikan bahwa sangat tepat mengkaji mengenai topik arsitektur karena belum ada yang menyentuh hal hersebut.

“Yang banyak itu bahasa, kesenian tapi belum juga total, holistik. Makanya kita juga terpanggil untuk melakukan penelitian dulu, baru kita rencana menerbitkan buku orang Massenrempulu,” terangnya.

Prof Munsi mengapresiasi karya Zulakrnain AS dengan menyampaikan bahwa apa yang telah dikerjakan merupakan pekerjaan yang luar biasa bagus, tapi begitulah ilmu, makin bagus dia makin bisa dilihat yang kurang. Menurutnya, karena kalau jelek semua, kita tidak tahu mana yang bisa diperbaiki karena kabur. Karena itu beberapa penegasan yang ia kemukakan untuk bisa dikaji lebih lanjut oleh penulis. 

“Pak Pak Zul tadi mengatakan rumah Duri itu sudah hampir hilang, tapi di sini masih mengatakan masih banyak hitungan ganjil, itu hitungan awal berarti masih eksis ini, dan masih ada filosofi sulapa appa sebagian, jadi saya kira meskipun fisiknya, ruangannya diperindah, kualitas sudah baik, tapi masih ada nilai-nilai, karena ada filosofinya, ada agama,” ujarnya. Lebih lanjut, Prof Munsi Lampe menegaskan bahwa nilai-nilai itu masih ada, hanya saja kalau dilihat sepintas sudah ada yang pakai tembok, sudah ada yang ubah di depan, tapi masih ada lego-lego.

“Saya baca 12 kasus dalam buku ini, ternyata memang hitung-hitungan ganjil memang ada, itu ternyata ada, jadi tidak ada sepenuhnya berubah tapi masih banyak yang prinsip-prinsip”, terangnya

Ia pun menganggap hal itulah yang menjadi tugas bersama untuk mendalami lagi, untuk semakin menemukan yang mendekati, sebab katanya, tidak bisa penelitian itu betul-betul murni benar. 

Menelisik buku karya Zulkarnain yang mengambil sampel di desa Kendenan, Prof Munsi kemudian mengatakan bahwa bila dikatakan Rumah Duri, tapi penelitiannya mengambil sampel, maka perlu hati-hati mengambil sampel dengan asumsi bahwa semua sama. “Padahal kalau diperiksa dengan baik-baik mungkin saja di Banti, Baraka, Marena, Cakke, siapa tahu agak lain-lain,” tutrnya. 

Ia pun selanjutnya menjelaskan bahwa sejatinya manusia itu tidak diciptakan persis sama, diberi otak pikiran supaya berkreasi, berinovasi dari dalam dan melihat juga di sekelilingnya sehingga pasti bisa berbeda-beda dan budaya memang demikian.   

Selain itu, ia juga menegaskan agar jangan kita seolah-olah gengsi untuk murni, karena menurutnya kebudayaan memang saling mempengaruhi. Ia mencontohnya misalnya, wilayah Enrekang bagian atas dekat dengan Toraja, yang di Maiwa dekat dengan Bugis, dan juga Enrekang yang dipengaruhi dari Utara. Baginya, yang penting jangan sampai kehilangan Duri Enrekang Maiwa atau kehilangan Maspul, karena itulah yang menjadi persyaratan pengakuan.  Kendati demikian ia berharap alangkah baiknya kalau mengatakan “Kami Maspul”, lalu memang ada buktinya dan tunjukkan. 

“Kita Maspul ke depannya bukanlah hanya digali dari yang dahulu, tapi Maspul yang tumbuh berkembang, tetap Maspul dan kita rekayasa, ciptakan simbol, lambang, lagu. Karena kebudayaan bukan kajian tradisional, tapi perkembangan,” tutupnya. 

Pada sesi diskusi, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Enrekang Paundanan Embong Bulan menyampaikan bahwa diskusi perihal pemajuan kebudayaan di Enrekang tampak makin maju.

Pada kesempatan, ia mengutarakan terkait kondisi budaya di Enrekang, di mana identitas rumah adat belum nampak hingga sekarang. Oleh karena itu ke depannya, ia megharapkan ada keberanian untuk membangun rumah etnis, bahkan ia berharap langsung kepada Bupati Enrekang dapat membangun sebelum berakhir masa kepemimpinannya. Demikian pula, ia mengajak kepada Penulis yang merupakan bagian dari sub etnis Maiwa untuk menjawab persoalan tersebut dengan membangun salah satu entitas rumah Maiwa. “Jangan kita berikan kesempatan berbagai macam budaya datang di daerah kita,” ujarnya.  

Di sisi lain ia berpesan agar budaya sekiranya dapat memberikan manfaat kepada diri, daerah, bangsa dan negara. Ia menekankan bahwa bila sudah jauh dari budaya kita: Massenrempulu, tidak pernah ada kajian-kajian, maka kita tidak berbudaya, dan akhirnya tidak bermartabat.

“Misalnya sekarang generasi kita sudah semakin malu memakai bahasanya, tidak bangga dengan budayanya. Ini semua menjadi PR kita, diangkat secara kenyataan atau ril jangan hanya kita cerita, sudah banyak upaya misalnya Perda, tetapi tidak satu pun ada yang menginisiasi baju atau rumah adat,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia juga sempat menerangkan terkait identitas warna dari Lakamummu. Ketua AMAN Enrekang ini menyatakan bahwa perihal itu memang sejarah masa lalu, karenanya perlu sama-sama dibesarkan dan perlu didukung. Namun menurutnya, Lakamummu (ungu) bukan satu-satunya karakteristik dari warna Massenrempulu, melainkan ada warna lain pula.  

“Cuman saja bahwa kalau di Massenrempulu, bukan hanya Lakamummu yang ada, ada labolong, ipute, icella, ada empat warna yang menjadi identitas Massenrempulu. Hanya saja karena menurut kronologis, kebetulan  Lakamummu yang jadi raja pertama, sehingga itu yang kita jadikan identitas warna,” tuturnya.

Di akhir penyampaiannya, ia mengajak peserta untuk melihat identitas Massenrempulu yang berpegang pada 3 sub etnis. Menurutnya hasil penelusuran yang diperoleh di lapangan selama 15 tahun terkahir, ia justru mendapatkan banyak hal yang unik.

“Kita saja di Maiwa tidak bisa kalau hanya didapatkan di Limbuang, Pasang, Matakali, oleh karena itu, penelusuran kami di lapangan banyak yang menjadi temuan unik dan bisa dikaji secara mendalam, apakah etnis kita yang tersisa betul hanya tiga atau bahkan lebih dari itu,” tutupnya.

Pada kesempatan itu, Camat Enrekang yang berkelahiran Kallupini, memberikan apresiasi atas karya Zulkarnain dan kebangaannya karena sama-sama berasal dari Matakali.

Ia berpendapat bahwa kalau mengkaji perihal Enrekang, dapat dicermati kekayaaan potensi yang ada di Enrekang, menurutnya harus digali menjadi potensi kekuatan besar terkait bagaimana mengangkat massenrempulu yang lebih utuh.

Ia pun melihat bahwa sisi positif buku tersebut ialah bagian dari literasi yang mengkaji aspek budaya di kabupaten Enrekang yang dapat menjadi kekuatan besar untuk menyatukan Enrekang.

Diskusi buku yang berlangsung sekitar 3 jam ini cukup antusias diikuti oleh para peserta, terutama Bupati Enrekang sampai mendengarkan dan memberi respon hingga diskusi selesai. Kegiatan pun ditutup dengan jamuan makan siang beserta diskusi lepas para peserta terkait budaya Massenrempulu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *