oleh Irsan
Sejak berlakunya kewenangan otonomi daerah di Indonesia, kabupaten/kota menggelorakan kemandirian dan antusias dalam mengembangkan identitas lokal, termasuk kabupaten Enrekang. Peluang pemerintah daerah dalam melaksanakan program strategis dan khas kini dapat kita saksikan dengan terbuka hari ini. Hal ini pun disambut masyarakat dalam partisipasinya pada ruang yang diselenggarakan secara demokratis. Usulan kebutuhan masyarakat dijembatani mulai dari dusun, desa, sampai kabupaten, terlebih saat ini pembangunan yang dilakukan secara otonom di desa mulai melibatkan masyarakat secara aktif, salah satunya kebutuhan akan pembangunan manusia.
Jika melihat wacana dan arah program yang ada saat ini, misalnya yang disampaikan oleh Pemerintah Pusat yakni “SDM Unggul, Indonesia Maju” dapat dipastikan bahwa negara kita sedang menyonsong manusia Indonesia yang produktif. Salah satu yang didorong ialah terbangunnya kultur kreatif di segala bidang yang digerakkan oleh generasi muda. Mengingat bonus demografi yang dijadikan sebagai modal ini, secara eksplisit dinantikan perannya sebagai generasi emas menyukseskan visi Indonesia 2045.
Kesiapan negara menyambut bonus itu tentunya disambut dengan perencanaan yang disusun oleh pemerintah daerah Enrekang. Jika misalnya Bappenas kini mengarahkan pembangunan SDM dan pengentasan kemiskinan dilakukan melalui “literasi untuk kesejahteraan”, maka pemda Enrekang pun menerjemahkannya dalam suatu kebijakan yang delivery. Sebab acapkali, otonomi di daerah tak sengaja ‘lengah’ dari kebijakan nasional, yang sebenarnya diharapkan dapat terintegrasi dengan baik. Misalnya, program literasi yang kini jadi prioritas nasional dan didorong tercipta dalam multistakeholder, diharapkan signifikan mempertemukan aksinya dalam sinergi di daerah. Hal ini juga akan menandakan bahwa pembangunan literasi bukannya tidak populis, bahkan merupakan prioritas.
Secara implisit dampak otonomi memang mengesankan bahwa kebijakan literasi yang sifatnya prioritas nasional sekalipun belum tentu (tiba secara) mendesak pada skala desa. Bukan saja karena masyarakat lebih mengarusutamakan infrastruktur dan menitipkan soal literasi hanya pada lembaga pendidikan formal, melainkan pemerintah desa agaknya memahami literasi masih sebatas urusan melek aksara dan terpisah dalam variabel pembangunan desa secara holistik. Olehnya itu, kita tidak ingin bila literasi di Enrekang dipandang sebatas pekerjaan formal dan instrumental.
Sudah saatnya forum musyawarah tak sekadar menampung aspirasi atau kebutuhan masyarakat, tetapi hendaknya dijadikan sebagai ruang pertukaran pengetahuan dari para pemangku kebijakan. Diperlukan informasi (edukasi) dari pemerintah desa perihal praktik baik yang dihasilkan dari literasi. Sebab tak diragukan lagi sebenarnya, pemerintah desa tahu bahwa literasi adalah pendidikan nonformal yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan (hak) belajar masyarakatnya. Karena itu, pemerintah daerah sebisa mungkin aktif mendorong minat literasi dan pembangunan infrastuktur pengetahuan di desa. Dan yang tak kalah penting, pemerintah daerah membangun “trust” pada konsep dan praktik literasi dapat meningkatkan kesejahteraan manusia.
Tentu kita patut berbangga bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Enrekang pada tahun ini berada di peringkat 2 tingkat Sulawesi Selatan. Dengan angka 72,15 %, IPM Enrekang dikategorikan nilai tinggi. Indikator harapan lama sekolah yang sudah tinggi ini juga berkorelasi dengan capaian presentase pengentasan Buta Aksara Enrekang yang dirilis Kemendikbud pada tahun 2018 berada di peringkat ke empat (2,05% atau 2.344 orang). Capaian ini terbilang menarik sebab secara absolut Enrekang urutan 3 terendah buta aksaranya dan presentasenya hanya diungguli oleh tiga kotamadya di Sulsel.
Data pembangunan manusia di atas menunjukkan peningkatan literasi dasar di Kabupaten Enrekang. Variabel literasi dasar ini tentunya dapat menopang visi EMAS yang berlanjutan dan religius, terutama bila literasi fungsional dan adult literacy (literasi untuk orang dewasa) sudah mulai digiatkan. Karena itu, untuk menuju generasi EMAS Enrekang pilar pembangunan literasi sudah saatnya didukung secara nyata dalam sebuah ekosistem literasi. Ekosistem ini mengisyaratkan kolaborasi seluruh elemen, yang nantinya kultur gerakan literasi beroperasi secara terpadu, dari gerakan pemerintah, swasta, lembaga pendidikan dan gerakan literasi masyarakat.
Konsep serupa triple helix dalam konteks praktik literasi, juga dapat diarahkan untuk menguatkan integrasi antara pemda Enrekang, perguruan tinggi dan sektor swasta. Kerjasama dengan perguruan tinggi dapat dijalin dengan program KKN tematik Literasi, sekaligus lebih mengakomodasi knowledge mahasiswa ketimbang keringatnya dalam program fisik. Lalu peran sekolah dapat menyambungkan literasi di luar sekolah sebagai bagian yang integral dalam pendidikan formal.
Sudah saatnya pula ekonomi kita dirancang dari kreativitas yang bersumber pada literasi. Pengembangan seperti badan usaha milik daerah dan desa juga dapat didekati dengan pengusaha yang kreatif karena punya kemampuan literasi. Sehingga ke depannya, PAD Enrekang tidak hanya bertumpu pada sumber daya alam, tetapi juga pada ekonomi kreatif yang erat kaitannya dengan pengembangan literasi.
Tak hanya itu, apresiasi masyarakat yang bergerak dalam literasi patut diperhatikan dengan menyediakan sarana secara berkelanjutan. Mereka perlu dilibatkan secara egaliter agar merasakan gerakan literasi yang dibangun menyiratkan cita-cita bersama. Tentu akan ada perbedaan passion dan pendekatan dalam literasi, tetapi itu adalah dinamika yang dapat membentuk kedewasaan berliterasi, agar terjadi dialog yang senantiasa menyalakan api literasi.
Pada akhirnya dibutuhkan regulasi agar ekosistem literasi tersebut dapat benar-benar berkonstribusi bagi pembangunan daerah. Kita berharap pada momentum HUT Ke 60 kabupaten Enrekang, ke depannya literasi menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan manusia Enrekang menuju generasi EMAS dan IPM yang tertinggi.
Tulisan ini telah diterbitkan di Koran Sindo Makassar, Rabu 19 Februari 2020 dalam format reportase oleh Aris Bafauzi.