Kopi Sulawesi, khususnya Kopi Arabika Kalosi Enrekang dikenal dengan cita rasa unik dan aromanya yang khas, telah menjadi salah satu komoditas unggulan di Indonesia. Sebagai upaya untuk mempelajari dan mengembangkan Kopi Sulawesi, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX menggelar talkshow dan diskusi pada Selasa, 29 Oktober 2024 di Ruang Pola Kantor Bupati Enrekang.
Dalam Sesi Talkshow tersebut, para akademisi dan praktisi membahas kopi dalam lintasan sejarah, genetika dan revitalisasi Kopi Arabica Typica Kalosi, ekosistem bisnis, pasar kopi Sulawesi, Agrowisata, serta dampak perubahan iklim terhadap produksi kopi. Kegiatan diskusi dibagi dua sesi yakni sesi pagi membahas mengenai sejarah, genetika dan revitalisasi, bisnis dan pasar kopi, dan pada siang fokus pada pariwisata dan isu perubahan iklim terkait dengan kopi.
Pada sesi pagi, salah satu yang membahas secara spesifik Kopi Arabika Kalosi Enrekang yaitu Dr. Ilham Latunra, M.Si, seorang akademisi dari Universitas Hasanuddin yang juga berasal dari Enrekang. Dalam materinya, ia memulai dengan sejarah masuknya kopi di Massenrempulu dan Toraja yang dibawa melalui cultuurstelsel Kolonial Belanda. Lalu menceritakan bahwa pada tahun 2012, ia pernah mengeksplorasi kopi di Enrekang yang disebutnya Kopi To Jolo Enrekang.
“Saya kira orang-orang di Enrekang ini, banyak sekali dalam lintasan sejarah mempunyai peranan penting dalam perkopian,” kata Ilham Latunra.
Di samping itu, Ilham Latunra juga menerangkan, pada tahun 2013 telah dilakukan program penyelamatan dan revitalisasi Kopi Kalosi melalui Hak Indikasi Geografis Kopi dari Ditjen KI Kemenkum HAM RI. Salah satu yang menjadi konsennya ialah Kopi Arabica Typica sebagi kopi lokal tua yang pernah ditanam kembali di Dusun Nating, Desa Sawitto, Kecamatan Bungin pada tahun 2008 di lahan seluas 20 hektar.
Sebagai akademisi, Ilham Latunra juga menunjukkan hasil penelitian yang dilakukan melalui Uji genetika-DNA Kopi Arabica Typica. Ia pun menambahkan bahwa komoditas kopi Arabika Kalosi Enrekang khususnya Arabica Typica menjadi komoditas kebangaan yang harus terus dijaga dan dapat membawa Enrekang mendunia.
“Yang harus kita banggakan, kopi ini adalah komoditas lokal, sangat lokal dan tidak memerlukan teknologi canggih, kemudian bisa diekspor, karena kalau kopi, dengan teknik seadanya justru memberikan aroma dan cita rasa yang luar biasa”, ujar Ilham.
Terkait ekosistem bisnis kopi, Irsan Yumenk, menyampaikan ekosistem industri kopi yang kini melahirkan banyak profesi baru, seperti pengolah pascapanen, penyangrai biji kopi, penguji citarasa, hingga jadi asesor kopi.
Sementara itu, Dr. Reta, M.Si, akademisi Politeknik Pertanian Negeri Pangkajene Kepulauan, ikut menambahkan mengenai kopi Arabica Typica Kalosi yang sudah memiliki paten. Sehingga menurutnya, Arabica Kalosi bisa menjadi keunggulan Enrekang, apalagi karena karakteristik flavor-nya yang disukai, ditambah sejarah dan indikasi geografisnya.
“Salah satu keunggulan kita adalah sudah punya legacy, sudah dapat juara, kopi Nating, Kopi Bungin, tidak ada di Indonesia selain di Enrekang, atau adanya di Indonesia kalau di dunia,” ujar Dr. Reta.
Lebih lanjut, Dr. Reta yang juga asli Enrekang, ingin berkonstribusi dalam mengembangkan kopi di Enrekang dengan berpartisipasi melalui riset, salah satunya pengaruh kopi tentang perubahan iklim.
Sementara pada sesi Siang, mengenai Kopi dan Perubahan iklim dibahas secara spesifik oleh Fardi Ali Syahdar, Direktur Bumi Toala Indonesia yang juga pegiat Celebes Heritage Coffee. Ia menyampaikan beberapa dampak perubahan iklim terhadap produksi kopi, di antaranya perubahan curah hujan mempengaruhi waktu berbunga dan panen kopi.
Lebih lanjut, Fardi menawarkan beragam strategi adaptasi yang bisa dilakukan dalam menghadapi perubahan iklim yang berpengaruh terhadap tanaman kopi. Ia mengajak peserta agar mengeksplorasi pendekatan tradisional melalui kearifan lokal dan tradisi pertanian dengan pemilihan lokasi penanaman pada ketinggian tertentu sehingga membantu mengurangi dampak perubahan iklim. Termasuk ia pun menawarkan agar kopi menjadi identitas budaya yang mempertahankan kearifan lokal, khususnya dalam mendukung pertanian keberlanjutan.
Tentunya Fardi berharap bahwa kebijakan dan dukungan dari berbagai pihak dapat menjadi solusi bagi praktik budidaya kopi yang berkelanjutan. Kebijakan tersebut ia sebut sebagai pendekatan nature base solution dan ecosistem based approach.
“Salah satu kebijakan untuk pertanian berkelanjutan ialah memberi insentif bagi petani yang menerapkan teknik adaptasi iklim,” terang Fardi lewat paparan.
Di lain sisi, Prof. Dr. Muhammad Hasyim, M.Si, menerangkan kopi sebagai identitas pariwisata di Sulawesi Selatan selama ini, salah satunya Kopi Kalosi Enrekang. Menurutnya lahan perkebunan kopi di Enrekang bisa menjadi destinasi agrowisata seperti yang ada di Gayo, Aceh, Wisata Kopi Malabar, Jawa Barat dan Wisata Kopi Kintamani, Bali. Di mana wisatawan dapat belajar cara memetik kopi dan langsung menikmati kopi Gayo di area perkebunan warga.