Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA. Pimpinan Baznas Enrekang; Dosen STKIP Muhammadiyah
Percaya atau tidak, seorang penulis dapat mengejawantahkan eksistensi dirinya. Dengan menulis orang sekaliguss berekpresi, berkomunikasi dan –yang paling penting- meninggalkan jejak pikiran untuk masa yang tak terhingga.
Demikianlah inskripsi-inskripsi kuno dalam pyramid, di dinding-dinding gua, atau batu-batu cadas peninggalan ribuan tahun dahulu kala. Juga naskah-naskah di atas daun lontar sebagaimana peninggalan I Lagaligo, papyrus, dan sebagainya. Para penulisnya telah lama tiada, namun apa yang mereka tulis seakan kekal abadi. “Demi huruf nun dan demi pena serta apa yang mereka goreskan,“ begitulah Allah berfirman (QS. 68:1).
Karenanya tidak salah kalau orang Arab bilang, “Para penulis telah lama terkubur dalam perut bumi, namun goresan tintanya masih tetap berkata-kata”.
Tulisan mampu menembus sekat-sekat ruang dan waktu, melintasi sempadan geografis, etnis, bahkan agama. Seperti cerita-cerita yang ditulis Aesopos antara 620 hingga tahun 560 sebelum Masehi, atau puisi-puisi Imru’ul-Qays, pujangga Arabia zaman pra-Islam yang termasyhur itu. Berkat tulisan para sahabat Nabi pula, sehingga saat ini kita dapat menyimak pernik-pernik kehidupan dan petuah Rasulullah yang telah wafat dan terkubur dalam bumi sejak seribu lima ratus tahun silam.
Tulisan tidak hanya merekam dan menyimpan. Ia juga mengajar dan memengaruhi. Mengajak dan membujuk. Bersuara dan berbicara. Bukankah saat membaca tulisan ini, Anda sebenarnya tengah mendengarkan saya berkata-kata? Sebuah paradoks memang!
Tergantung genre, gaya, serta isinya. Tulisan dapat menghibur atau menyesakkan, mencerahkan atau membingungkan, menyadarkan atau menyesatkan. Dengan tulisan Anda bisa menggugah orang, mencegah, menjerat, atau membuat mereka murka. “Pena penulis lebih tajam dari pedang para pejuang,” demikian kata orang bijak.
***
Tulisan adalah salah satu media dakwah yang paling berpengaruh saat ini. Karena itu, media-media sosial, atau sosial media kian hari makin bertambah jumlahnya. Semuanya menyediakan fasilitas tulis-menulis. Sebut saja, facebook (FB), twitter, kakaotalk, wechat, WhatsApp, instagram —daftarnya terus bertambah. Zaman ini dikenal dengan era informasi, berbeda dengan sebelumnya yang kita kenal dengan era industri dan agraria.
Itu artinya, kekuatan terpenting di dunia saat ini adalah bersumber dari informasi, bukan lagi militer, atau pangan. Siapa yang menguasai informasi, maka dialah yang dapat menaklukkan dunia. Semua jenis sosmed (sosial media) yang ada saat ini bersumber dari golongan bukan Islam (kafir), karena itulah, umat Islam tidak memiliki kekuatan untuk membentuk opini, segala berita yang beredar di tengah masyarakat tidak banyak yang memiliki keberpihakan pada Islam.
Selain tidak punya media yang mumpuni, umat Islam juga tidak mahir menggunakan media yang ada sebagai wadah dakwah yang gratis. Seorang dai seharusnya ikut ambil bagian dalam menggunakan fasilitas sosmed untuk menggalang opini yang berpihak pada agama dengan cara menulis. Walau bagaimana pun, media-media cetak sangat terbuka menerima tulisan dari siapa pun selama tulisan tersebut memiliki kualitas yang baik, dipertanggungjawabkan, dan memenuhi kriteria sebagai karya ilmiah populer. Sedangkan sosmed tidak memiliki syarat apa pun selain alat dan tatacara penggunaannya.
Sebutlah misalnya artikel yang dimuat dalam kolom opini, yang terbit setiap hari, kecuali hari minggu. Kolom ini, selalu menunggu para penulis-penulis baru yang memiliki ciri khas dan karakter tersendiri. Tidak mudah memang, bersaing dengan begitu banyak penulis yang telah lama masyhur, mapan dalam berkarya, dan memiliki ciri khas dan pembaca setia, tapi bagi saya, disinilah tantangannya!
Setiap orang yang mampu merangkai huruf menjadi kata, punya ingatan baik, akan mampu menulis seperti di atas, yang membedakan, mungkin cara penulisan atau gaya bahasanya. Setiap orang memiliki pengalaman dan perjalanan hidup yang berbeda.
Tidak hanya itu, orang yang berada dalam suasana yang sama, melihat pristiwa yang sama, dapat memotret peristiwa dengan sudut pandang yang berbeda atau dalam dunia jurnalistik disebut ‘angle’. Tidak ada alasan untuk meninggalkan dakwah bil-qalam, jadilah pelopor atau minimal pelaku yang akan mewariskan pahala atau saham sosial yang tak terhingga masanya. Nun wal qalami wama yasthurun!
Terakhir, masjid adalah sarana untuk berdakwah paling ampuh, maka seharusnya menjadi sentra program-program keumatan yang bermuara pada pencerahan.
Dakwah di masjid jangan hanya sebatas naik mimbar. Pola-pola dakwah dengan ceramah di depan jamaah dengan durasi lama sudah tidak terlalu diminati jamaah. Saat ini, dakwah-dakwah mimbar mulai tergeser sedikit demi sedikit, dakwah saat ini lebih condong pada pemamfaatan media modern.
Bagi generasi jaman now, dakwah dengan video-video pendek, tulisan-tulisan singkat, short video, dan semisalnya memiliki pengaruh yang cukup kuat.
Karena itu, pihak masjid semestinya menangkap peluang dakwah dengan memasarkan tulisan-tulisan dan video tiap hari. Agar mampu menarik jamaah generasi jaman now ke masjid.
Termasuk menyediakan ruangan khusus untuk perpustakaan, agar jamaah dapat mengakses bahan-bahan bacaan dan informasi yang bermanfaat.
Dengan membaca pintu ilmu terbuka, dengan menulis kita akan menebar manfaat seluas mungkin, dengan menyediakan fasilitas membaca dan menulis kita akan membangun jalan pintas ke surga. Agama ini hanya ada karena ilmu, dan ilmu hanya didapat lewat belajar. Membaca dan menulis adalah sarana ampuh mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Batili Dalam, Senin 14 Mei 2018