Bertanya Pada Diri dan Kritis Pada Digital

Bincang Buku “Socrates Cafe: Bijak, Kritis, dan Inpiratif Seputar Dunia & Masyarakat Digital” di Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang (26/7/2019) dihadiri 8 orang peserta klub baca. Kali ini yang menjadi pembahas adalah Irsan (pustakawan Dispustaka). Sebagai pengantar, ia menguraikan isi buku Socrate Cafe.

Ulasnya, buku Syahrul Mauludi ini semacam ajakan bagi generasi dan masyarakat digital untuk menerapkan prinsip memahami diri dan kritis terhadap informasi di dunia digital.

Kegiatan bincang buku ini merupakan follow up dari masukan peserta saat diskusi membaca pada acara Festival Massenrempulu Membaca. Namun demikian, kegiatan serupa telah dilakukan sejak tahun lalu, hanya saja belum secara intens dilaksanakan. Untuk kali ini, rencananya akan diagendakan setiap minggu dengan pembahas yang berbeda-beda. Kalau dulu pembahasnya masih dari pustakawan, nantinya akan dibagi untuk semua peserta.

Pada pertemuan kemarin, disepakati 8 orang yang akan menjadi pembahas dalam bincang buku. Selama 8 pekan kedepan, mereka secara bergiliran menjadi pemantik diskusi. Topik buku yang diangkat yaitu buku pemikiran atau filosof dari barat, dimulai dari socrates hingga nanti pemikir-pemikir islam. Metodenya, semua peserta akan membaca buku yang dipilih dan selanjutnya akan berbagi pengetahuan terkait topik itu. Setiap orang juga dapat mencari referensi yang berbeda sesuai topik tersebut sebagai referensi alternatif dan tambahan, sehingga perspektif peserta akan beragam.

Engky, mahasiswa STKIP Enrekang, mengawali diskusi dengan menautkan pikiran Socrates dalam melihat perkembangan dunia digital. Hal yang masih relevan dari pikirannya ialah selalu bertanya dan kritis pada sesuatu, termasuk saat berada dalam dunia digital.

Namun tentu, ia pun menekankan kepada peserta, hal apa yang secara kongkret dapat dilakukan pemuda saat ini dalam merespon beragam fenomena dunia digital saat ini.

Dedy, Presma STKIP Muhammadiyah Enrekang, menjelaskan bahwa bencana yang lebih dahsyat hari ini bukan semata bencana alam, tapi ketika kita tidak mampu beradaptasi dengan dunia digital. Ketidaksanggupan melakukan sesuatu dalam zaman yang serba digital ini.

Ibrahim, mahasiswa UIM, melihat budaya atau potensi yang ada di daerah kurang diperhatikan karena semakin majunya teknologi. Seharusnya bagi dia, generasi muda menghidupkan budaya, dan tidak sekali-kali lupa sejarah.

Herman, aktivis HmI, membaca ada beberapa prinsip yang bisa dikembangkan dalam membangun budaya digital yang bijak, salah satunya yaitu pemahaman terhadap diri. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan dalam buku Sahrul ketika merefleksikan pikiran Socrates.

Hal lain yang disoroti Musdin, pelopor Mahalistik ini, merespon pengantar diskusi yang menyebut fenomena game. Ia lantas manganggap game tidak sewajarnya dilarang apalagi diharamkan. Yang harus dilakukan menurutnya adalah menyampaikan secara edukatif nilai atau asas kebermanfaatannya. Sebab game punya sisi positif bagi konten kreator. Namun tentunya kita seharusnya dapat menciptakan banyak edukasi sebagai perbandingan agar mereka tidak larut dalam game.

Lil Yusram, merespon lebih lanjut perihal game dengan bilang, terkadang orang yang main game adalah orang cerdas, karena menyukai tantangan dan selalu ingin melewati level-level tersulit. Namun tentu saja pengunaannya tidak seharusnya mengambil banyak waktu, sehingga ia tak bisa punya waktu lain untuk melakukan hal yang produktif.

Sementara, Irwan, ia menganggap apa yang disampaikan oleh setiap peserta sebenarnya telah mewakili semua apa yang ingin disampaikannya. Ia pun mengakui bagaimana teknologi atau medsos telah mempengaruhi dirinya, bahkan saat kouta habis ia akan merasa gelisah. Karena itu menurutnya, memang penting saat ini menyikapi dunia digital dengan memikirkan langkah apa yang bisa dilakukan dalam mewujudkan masyarakat digital yang bijak.

Di akhir diskusi, Irsan, menutup diskusi dengan mengajak peserta kembali merenungkan pentingnya mengambil sikap kritis dan menumbuhkan literasi media pada setiap suguhan yang tampil di media digital.

Sembari mempersiapkan diri, sudah selayaknya peserta diskusi mulai mengajak rekan-rekan pemuda, khususnya mahasiswa untuk meluangkan waktu datang berdiskusi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *