Oleh Raslina
Tak bisa dipungkiri bahwa perkembangan teknologi dewasa ini ibarat pisau bermata dua. Ada sisi positif, pun sisi negatifnya. Semakin mudahnya akses terhadap informasi maupun berbagai kebutuhan hanya dengan menggerakkan ujung jari adalah peran positif teknologi yang menyusup di semua lini kehidupan manusia. Sehingga para perusahaan startup pun mengeluarkan sebuah statement “Go online or Goodbye”. Artinya, siapa yang tak mampu beradaptasi dengan teknologi, maka hidupnya pasti akan susah.
Kita juga tak bisa menyangkal, bahwa di sisi lain efek negatif perkembangan teknologi, terkhusus teknologi digital juga berimbas pada seluruh aspek kehidupan. Pada keluarga sebagai contoh kongkrit. Betapa gadget telah merampas waktu anak untuk bisa bersosialisasi dengan lingkungannya. Bahkan hingga berjam-jam wajahnya tertunduk menekuri layar gawai yang memainkan film atau game kesukaannya. Dan fenomena ini, hampir terjadi di seluruh keluarga. Hari-hari libur diisi dengan bermain gadget, dan ironisnya perilaku anak ini adalah hasil tiruan dari orang tuanya. Sudah tabiatnya, anak adalah peniru ulung. Otaknya bagai spon yang menyerap air. Karena akal belum berfungsi untuk memfilter informasi yang masuk melalui panca indra, maka apapun yang tertangkap olehnya akan discan persis seperti objeknya. Itu sebabnya, kadang ada yang berkelakar, “Jika ingin tahu perangai orang tuanya, maka lihatlah perilaku anaknya, sebab pohon apel jatuh tidak jauh dari pohonnya”.
Maka tak heran jika, keluhan seputar tumbuh kembangan anak pun ibarat tumbuhnya jamur di musim hujan. Yang autis lah, speech delay, ADHD, dan gangguan-gangguan lainnya—walaupun ini bukan faktor tunggal—menjadi permasalahan yang dihadapi oleh para orang tua.
Fenomena gadget anak usia dini tidak muncul begitu saja tanpa ada faktor penyebabnya. Sudah menjadi hukum kausalitas (sunnatullah), ada sebab tentu ada akibat. Jika kita mau menelisik lebih dalam tentang fenomena tersebut, maka didapati bahwa kecanduan gadget pada anak dikarenakan oleh tidak fahamnya para orang tua akan perannya sebagai pendidik bagi anak-anaknya, terutama Ibu yang mengemban amanah dari Allah SWT sebagai “ummu wa rabbatul bait” (Ibu dan pengatur rumah tangga). Menjadi seorang Ibu, bukanlah pekerjaan mudah seperti yang disangka oleh bayak orang. Profesi ibu, baik yang bekerja di ranah domestik maupun publik, harus profesional sebagaimana profesi lainnya. Profesional dalam artian bahwa ada ilmu yang harus dikuasai untuk bisa menjadi seorang Ibu yang akan melahirkan generasi penerus risalah Rasulullah. Jangan dikira, bahwa para bunda yang fokus di ranah domestik (sumur, kasur dan dapur) hanya cukup bagi yang tamatan sekolah dasar. Dalam Islam, profesi Ibu haruslah disandang oleh mereka yang memiliki ilmu yang mumpuni yang diperolehnya sejak sebelum dia menjadi seorang Ibu. Sehingga potret rumah tangga yang akan dijalaninya, sangat jelas tergambar di benaknya. Ibarat orang yang sudah kuliah bertahun tahun, tinggal praktek saat memasuki dunia kerja. Para Ibu yang bekerja di ranah publik pun, yang keluar rumah mencari nafkah untuk membantu suaminya, tidak menghilangkan peran utamanya sebagai Ibu dan Pengatur Rumah Tangga. Dia harus memiliki tenaga ekstra serta mafahim untuk bisa terus memantau perkembangan anak-anaknya. Bukan malah menjadikan menjadikan “pekerjaannya” sebagai alasan untuk membiarkan mereka tenggelam dalam dunia gadget disaat sang Ibu kelelahan dan menuntut “me time”.
Kebiasaan buruk anak dalam bermain gadget, sebenarnya bisa diminimalisir bahkan bisa dialihkan ke hal-hal yang lebih produktif. Tentu, jika ada keinginan kuat dari para bunda. Mengapa bunda ? Karena dialah seharusnya yang paling mengenal anaknya luar dalam. Dialah yang paling sering berinteraksi dengan putra putrinya, bukan ART (Asisten Rumah Tangga). Karena dialah manager rumah tangga, yang bertanggung jawab bagi kondusif tidaknya “kapal” yang mengangkut penumpangnya berlayar di lautan kehidupan.
Hal yang paling praktis yang dapat dilakukan adalah melakukan pembatasan waktu penggunaan gadget atau manajemen gadget. Ini berlaku untuk semua anggota keluarga. Diskusikan dengan pasangan dan anak yang lebih besar, waktu untuk bermain gadget. Pada anak usia 1-3 tahun, tahan untuk tidak mengenalkan gadget. Beri mereka permainan yang edukatif, dan bagi waktu anda untuk menemaninya bermain. Gunakan alarm sebagai tanda berakhirnya penggunaan gadget pada anak yang masih belum mampu mengontrol waktunya. Diskusikan terlebih dahulu berapa lama anak bisa menggunakan gadget dalam sehari, dan lakukanlah. Konsisten dengan kesepakatan yang telah dibuat, bagaimanapun anak mengamuk karenanya. Insya Allah, dengan komitmen dan kesabaran para bunda, efek negatif gadget dapat diminimalkan.
Setelah kesepakatan tersebut menjadi sebuah kebiasaan, maka cobalah untuk mengenalkan pada anak tentang hal-hal produktif yang dapat dilakukan dengan gadget. Mengoptimalkan youtube untuk membuat prakarya, mengajari anak tentang literasi informasi, menjadikan internet sebagai sumber belajar tak terbatas, sampai kepada bagaimana menjadikan media sosial sebagai lahan dakwah.
Tentu saja, ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Emosi bunda akan teruji. Seberapa besar keinginan kita untuk menaklukkan gadget agar bisa tunduk sesuai dengan kehendak kita. Amalkanlah ilmu tentang karakteristik orang yang berfikir amik (mendalam), dengan menjadikan fakta sebagai objek berfikir, bukan sebagai subjek. Niscaya kemenangan kan berpihak padamu.
Wallahu ‘Alam.
Penulis adalah Pustakawan Muda Dispustaka Enrekang