Mobilisasi Pengetahuan Melalui Perpustakaan Digital Enrekang di Era Disruptif

Pengetahuan tidak lagi hanya dapat dijumpai di perpustakaan atau dalam pustaka tercetak. Tetapi kini merambah ke format digital yang saat ini dominan digandrungi masyarakat, khususnya generasi millennial (digital native). Hal ini tidak lepas dari disrupsi digital yang memberikan dampak yang signifikan pada berbagai aspek, termasuk perpustakaan yang dikelola secara konvensional.

Tak hanya itu, internet menjadi menu familiar dalam genggaman ponsel yang tak terpisah dari diri ‘kekinian’. Singkatnya, pengetahuan pun harus digenggam masyarakat melalui pustaka digital. Inilah yang mendorong banyak instansi perpustakaan memperluas layanannya dengan membangun pustaka digital. Salah satunya, juga dibangun oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Enrekang dengan meluncurkan Perpustakaan Digital Enrekang (PDE).

Tentu kehadiran PDE tidak untuk ‘gaya-gayaan’ atau sekedar mengikuti tren digitalisasi pustaka. Tetapi, dibangun untuk memenuhi kebutuhan informasi dan akses pengetahuan masyarakat yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Semacam menyapa dan menghampiri generasi digital untuk tetap membaca di belantara pilihan aplikasi. Di samping itu, PDE dapat menjadi salah satu solusi atas belum merata dan memadainya perpustakaan konvensional di seluruh wilayah kabupaten.

Format bacaan yang kian multi dan berkembang ini musti diikuti dengan strategi peningkatan minat baca. Sebab digital hadir dengan beragam kepentingan dan godaan yang mungkin sama kompleksnya saat kita mengajak orang membaca buku (tercetak). Maka penyediaan akses pengetahuan dalam berbagai medium, tidak berarti apa-apa bila minat membaca tidak ditumbuhkan melalui berbagai kegiatan yang mendayagunakan pustaka.

Lompatan ke digital, di satu sisi mungkin bagi sebagian orang, justru kian meninggalkan. Entah karena ia tak berpunya perangkat teknologi informasi, atau situasi yang tak mendukung ia tak mampu mengaksesnya. Yang pasti perpustakaan tak bisa menunggu persoalan membaca buku tercetak tuntas, lalu bergeser ke digital. Saat multimedia menjadi cara baru memobilisasi pengetahuan, maka cara baca dan ajakannya pun dilakukan secara multi dan simultan.

Tantangan ini mungkin tidak mudah, dimana era distruptif menawarkan berbagai kejutan. Tampilnya perpustakaan digital hari ini mungkin menganggu incumbent (pustakawan) agar berubah dan beradaptasi dengan digital. Tapi perubahan itu tidak akan berhenti di situ saja dan pada hari ini. Selalu ada yang berubah dari teknologi. Termasuk ajakan membaca akan terdisrupsi, yang boleh jadi berlangung dengan cara-cara yang sederhana namun bermakna.

Ambil contoh misalnya, inisiatif yang dilakukan pustaka bergerak dan relawan literasi dalam memobilisasi pengetahuan. Dengan media sosial mereka membangun jejaring dan simpul yang menembus keterbatasan sumber daya. Mereka bergerak bersama pustakanya, menciptakan peristiwa membaca yang tidak sesunyi membuka e-book di ponsel. Bukannya aktivitas personal, lebih pada merajut makna sosial dari membaca. Bukankah hal ini juga ‘menganggu’ para pustakawan agar bergerak?

Dan nyatanya Perpustakaan Nasional RI sedang menggaungkan “pustakawan bergerak”. Apakah tagline ini mengandung semangat menggerakan? Hal yang menarik bahwa era disrupsi juga menyoal tentang pustakawan yang tak sekedar menata pustaka, tapi menjadi manusia pustaka (pustakaman).

Saat menjadi pustakawan, gangguan semacam itu bisa menciptakan keresahan yang memancing untuk produktif. Misalnya dengan membuka ruang diskusi atau menjadi fasilitator pertemuan yang membincangkan buku tertentu pada setiap minggu. Dengan PDE, bahan diskusi berupa e-book dapat dipinjam dan dibaca oleh peserta diskusi sebelum mengikuti acara diskusi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *