Oleh Jherio Wiranda (Pemustaka)
Pengetahuan merupakan buah ikhtiar manusia dalam berpikir. Potensi yang bisa dimiliki manusia karena berpikir akan sangat kompleks.
Suatu pengetahuan tak lepas dari tafsir manusia itu sendiri. Saat manusia (homo faber) diperhadapkan oleh ransangan realitas, hingga ia terdorong menemukan potensi diri serta menggunakannya dalam memecahkan masalah secara primitif dengan skala mikro.
Sejalan dengan ini Francis Bacon pernah mengatakan “knowledge is power“, tersirat daya untuk menjadi basis individu dalam bersikap dan bertindak. Aksi yang berangkat dari pengetahuan adalah aksi yang besar, human knowledge berarti human power, lalu pengetahuan tersebut kian bergeser pada tingkatan yang lebih tinggi.
Pengetahuan awalnya masih sederhana sebab beranjak pada proses yang sederhana pula. Pengetahuan belum bisa berimplikasi penuh pada sifat manusia. Dalam kurun waktu yang sangat lama melalui corong pengalaman sedemikian dinamis mengakumulasi dan mengelaborasi potensi, lalu mengarahkan pengetahuan pada kuasa yang akan mendominasi sifat manusia baik individu maupun kelompok (baca Foucault).
Manusia terus-menerus memproduksi pengetahuan, produksi tak lepas oleh kepentingan. Penggunaannya kini bukan hanya menjadi alat untuk memahami dan memecahkan persoalan mikro saja namun menggunakannya sebagai alat kontrol bagi manusia serta alam dalam skala makro.
Pengetahuan erat kaitannya dengan pendidikan. Manusia menjadi pembelajar di setiap permasalahannya. Dalam melakukannya individu bertindak sebagai produsen sekaligus penyerap (konsumen) dari pengetahuan. Penyerapan pengetahuan terjadi melalui interaksi dengan objek materil maupun nonmateril.
Proses mentransfer dan menyerapnya pun bukan terjadi dalam ruang sederhana itu saja. Manusia yang menganggap pengetahuan sebagai kebutuhan telah berusaha berinteraksi dengan sesuatu yang diciptakannya serta dengan anggota masyarakat lainnya untuk meng-upgrade segala sesuatu yang tercipta darinya. Mulai terjadi proses dialektis yang rumit dan mencari kesepakatan sedemikian rupa.
Penyerapan pengetahuan tidak berhenti sampai di situ, ia telah merangkak ke entitas belajar yang lebih modern. Pencarian belum usai dan selalu berubah, pengetahuan kini telah terlembagakan.
Contoh konkrit ialah pendidikan formal. Dewasa ini logika kapitalis telah melebur dalam arena pendidikan kita, bergerak seperti mesin raksasa dan menjelma menjadi panoptikon yang melakukan kontroling kepada individu maupun kelompok tanpa disadari.
Ruang pendidikan mengukuhkan manusia dalam habitus ekonomi. Berlomba-lombalah pemilik modal untuk berinvestasi, ruang pendidikan berubah menjadi pasar.
Dalam pelaksanaannya para pemangku kebijakan di arena pendidikan yang terpaku pada logika kapitalis ini melakukan bingkai pengetahuan (framing knowledge) demi mempertahankan norma-norma yang mereka menguntungkan mereka sebagai suatu acuan mapan tak terbantahkan.
Hal tersebut merupakan bentuk relasi kuasa dalam pendidikan. Pendidikan kita hari ini menemukan jalan buntu, pendidikan cenderung mengarahkan dan menetapkan kurikulum secara sistematis. Hadirnya Michel Foucault menjadi titik pencerahan bagi proses pedagogis ini, metode arkeologi pengetahuanya menjadi pisau pembedah dalam menyingkap pola relasi antara kuasa dan yang dikuasai.
Arkeologi pengetahuan mengandung aspek historis kritis sedikit banyaknya membuka pikiran kita terhadap pengetahuan modern yang cenderung menyamaratakan manusia. Hal di atas akan berimpak pada perampasan hak dan pengembangan diri setiap individu. Pengetahuan menjadi alat dominasi yang dilanggengkan melalui penanaman ideologi dan represi melalui segenap elemen si pemilik kepentingan.
Teori arkeologi pengetahuan yang disodorkan oleh Foucault termasuk hal yang anti terhadap kemapanan. Sebab dengan terus menerus melakukan pergumulan diskursus kita akan menemukan hal yang baru yang mungkin akan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Pendidikan telah kehilangan makna sebagai ajang pembebasan, pemberian kemampuan, dan membuka diri setiap individu menjadi diri yang sadar serta mandiri. Proses belajar pun terbatas, pendidik menganggap yang dididik sebagai objek. Bukankah ini akan melemahkan perkembangan pengetahuan itu sendiri?
Sudah saatnya kita melakukan transformasi pendidikan dengan mewujudkan manusia yang merdeka, manusia yang mampu menemukan jati dirinya, manusia kritis yang pandai menelaah struktur terdalam dari berbagai realitas dan memecahkannya. Sebab dengan maksud pengurungan yang ada bukanlah transformasi namun kemandekan.
Alternatif lain jika tidak bisa langsung meretasnya, yang kita bisa menggapai pengembangan diri dan pengetahuan di tempat lain, sebab semua tempat adalah ruang pendidikan (baca Ivan illich) bentuknya dapat berupa perpustakaan, warkop, dan ruang publik lainnya.
Diskursus di ruang publik lebih nyaman sebab tidak terbatas pada ideologi yang telah ada. Akan terjadi proses yang alot sebab berbagai pengetahuan akan berkelindan saling mengisi dan memenuhi.
Hasil dari diskusi ini bisa menjadi pengantar untuk membongkar bentuk pendidikan yang tak progresif. Sebab sejatinya pengetahuan digunakan baik untuk memecahkan persoalan dalam berbagai dimensi untuk mencapai hidup yang lebih baik.