Menguatkan Wacana Geopark Nasional “Benteng Alla”

oleh Masri Ridwan

Situs sejarah Benteng Alla bukanlah sebuah benteng beton yang dibangun melainkan sebuah formasi batuan yang menyerupai benteng.  Panjangnya yang mencapai 6 Km dengan luas area 80 ha menempatkan kawasan benteng alla secara administrasi tersebar di Kecamatan Baroko, Massale, Alla hingga di kawasan Kabupaten Tana Toraja. Itupula yang membuat kawasan ini menjadi unik, bahkan oleh penulis merekomendasikan Benteng Alla untuk diusulkan sebagai kawasan Geopark.

Potensi Benteng Alla menjadi Kawasan Geopark patut menjadi perhatian khusus pemerintah. Pasalnya, dari 3 unsur kriteria penetapan Geopark, Kawasan Benteng Alla memenuhi ketiga unsur tersebut. Diantaranya Unsur Geodiversity, Biodiversity dan Culturaldiversity (UNESCO).  Sebagai lembaga resmi yang mengelolah Geopark, UNESCO sejak tahun 2015, telah memiliki 195 Negara Anggota. Organisasi yang bermarkas di Paris ini mendukung upaya Negara-negara Anggota untuk membangun Geopark serta membangun jejaring kerja sama Geopark secara Global.

 Di Indonesia, penetapan statuta Geopark suatu kawasan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Kita barangkali masih ingat dengan perjuangan aktivis dan pemerhati lingkungan NTB yang mengampanyekan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) menjadi kawasan Geopark di tahun 2013 silam, atau perjuangan panjang masyarakat Toba yang berbuah manis dengan akan ditetapkannya Kaldera Toba sebagai kawasan Geopark di Bulan September ini (Kabar Indonesia, Edisi Agustus 2019).

Lalu, bagaimana dengan Benteng Alla?

Walaupun nama Benteng Alla tidak sebesar dengan Raja Ampat di Ujung Timur Indonesia atau Ngarai Sinaok Maninjau yang terhampar di Pulau Sumatera. Akan tetapi, potensi yang ada di Benteng Alla menjadi magnet tersendiri untuk dikembangkan sebagai kawasan Geopark.  

Pertama, Unsur Geodiversty, dalam Buku  Armstrong F. Sompotan (2012) dikatakan bahwa Sulawesi dan sekitarnya merupakan daerah yang kompleks karena merupakan pertemuan tiga lempeng besar yaitu; lempeng Indo-Australia, Pasifik dan lempeng Eurasia. Selanjutnya, Kawasan Enrekang dan Tana Toraja merupakan batuan tertua.  Batuan itu adalah Formasi Latimojong, bentukan kapur. Formasi Latimojong diendapkan Formasi  Toraja (Tet) secara tidak selaras. Tetesan-tetesan air di batuan karst menghiasi Benteng Alla dengan bentukan stalakmit, stalaktik dan Pilar. Fenomena ini menghasilkan tampilan visual yang mempesona, dapat ditemui di Lo’ko Malillin dan Benteng Alla.

Kedua, Biodiversity, keanekaragaman hayati di sekitar Benteng Alla tidak kalah dengan kawasan lain. Letaknya yang berada di ketinggian 1200-1300 Mdpl membuat kawasan Benteng Alla sebagai habitat beranekaragam tumbuhan, misalnya Kunyit hitam, Bambu, Kayu Manis dan berbagai jenis buah-buahan. Uniknya, kawasan ini sebagai habitat Kopi Arabika Kalosi yang telah mendunia. Terdata 74 kelompok tani yang membudidayakan Kopi Arabika Kalosi, tersebar di Kecamatan Masalle dan Baroko. Bahkan Kopi Arabika Speciality Kalosi-Enrekang pada Februari 2013 telah dilegitimasi oleh negara ber-Sertifikat Indikasi Geografis (IG). Artinya bahwa jika di Bali terdapat Kopi Arabika Kintamani, di Aceh ditemui Kopi Arabika Gayo maka di Enrekang ada Kopi Kalosi. 

Ketiga, Culturaldiversity, dalam tulisan Natsir Sitonda, Budayawan Massenrempulu, Konon, Benteng Alla digunakan masyarakat Enrekang dan Toraja sebagai Benteng pertahanan melawan penjajahan Belanda pada masa 1905-1907. Kini benteng itu telah menjadi situs prasejarah, monument alam yang menyimpan sejuta cerita tentang keberanian orang Enrekang (To’ Enrekang).  Sementara itu, temuan situs wadah erong di Benteng Alla Kecamatan Baroko memperkuat bukti bahwa dulunya kawasan ini tempat persinggahan orang Austronesia, persis yang terdapat di Tana Toraja, Dayak, Minahasa dan Vietnam (Masri Ridwan, 2016). 

Apa artinya bagi masyarakat?

Pertanyaan inilah yang paling sering mengemuka dalam setiap diskusi maupun seminar tentang Geopark. Ada banyak manfaat jika kawasan Benteng Alla menjadi Geopark. Pertama, Benteng Alla otomatis menjadi warisan dunia yang wajib dilindungi Negara, bahkan oleh seluruh warga dunia. Dengan demikian, kelestariannya akan mendapat perhatian secara khusus terutama UNESCO.

Kedua, Benteng Alla akan menjadi pusat penelitian ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan ekologis bagi keberkelangsungan ekosistem. Sehingga terbentuk sebuah konsep penataan pariwisata yang berkelanjutan. Ketiga, efek domino yang dihasilkan akan terbangun infrastruktur pendukung yang konsepnya disesuaikan dengan semangat Geopark, terpromosikan sendiri ke seluruh penjuru dunia karena  menjadi lokasi para peneliti dan wisatawan utamanya tipologi wisata edukasi serta berdampak positif bagi perkembangan daerah-daerah penyanggahnya, seperti Toraja dan Pinrang. Sebab, sekali lagi konsep Geopark berlandaskan kawasan.

 Terakhir, sebagai PR kita bersama, peran pemangku kepentingan sangat diharapkan, pihak masyarakat sebagai pelaku dan pemerintah setempat sebagai pemangku kebijakan mesti saling bertautan. Sebab Perpres RI No. 9 Tahun 2019, Geopark Nasional ditetapkan oleh menteri yang tugas dan fungsinya menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang geologi. Penetapan tersebut diusulkan oleh Pengelola Geopark melalui gubernur sesuai kewenangannya, setelah pengelola terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari Komite Nasional Geopark Indonesia. Semoga!

Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam Lomba Esai “Potensi Lokal Enrekang” tahun 2019 yang diadakan Dispustaka Enrekang dan menjadi Pemenang I.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *