Oleh Masri Ridwan (Penikmat Kopi, Staff Pengajar di Politeknik Pariwisata Makassar)
Nama Kaldi mungkin akan selalu muncul dalam ragam referensi yang membahas kopi. Seorang petani dan pengembala kambing di Ethiopia, Afrika, yang tanpa sengaja menyaksikan hewan gembalanya itu begitu energik setelah memakan biji-bjian (mirip buah ceri) merah dari semaksemak. Ia pun mencoba buah itu, dan anehnya Kaldi juga menjadi bersemangat.
Mitos kisah Kaldi kemudian didapuk sebagai awal penemuan kopi. Bahkan, para biarawan di sana menyebutnya penemuan itu sebagai “hadiah dari Tuhan”. Kopi saat itu dikenal dengan nama Abbysinia.
Konon setelah peristiwa bersejarah itu, kopi mulai tren di kalangan aristokrat di Jazirah Arab. Para pedagang Arab pun mulai memasarkan kopi ke Yaman pada pertengahan abad ke-15. Orang arab menyebutnya “qahwa” yang berarti energi atau kekuatan.
Sejarah panjang kopi hingga masuk Indonesia tentu tidak lepas dari imperialisme Eropa, tak lain adalah Belanda. Tepatnya, ketika VOC membawa tanaman kopi Arabika ke Indonesia dengan tujuan meruntuhkan monopoli Arab terhadap perdagangan kopi dunia. Belanda kala itu sengaja mencipta perang urat sarat. Agar dunia memasang kacamata lain. Hingga akhirnya mampu menggeser eksistensi dan dominasi kopi Yaman.
Produksi kopi di Indonesia yang dikenal dengan gerakan kapitalisasi komoditas kopi dunia kala itu juga menyentuh tanah Celebes (baca: Sulawesi). Enrekang dan Toraja merupakan dua nama daerah yang moncer dalam ekspor kopi, yang berkontribusi membawa Belanda sebagai negeri pengekspor terbesar kopi dunia.
Laku kopi di Enrekang hingga saat ini merupakan komoditas dagang bernilai tinggi. Bahkan, Enrekang berhasil mendunia berkat produksi miliknya yang banyak diganderungi para pecinta kopi.
Keberhasilan kopi arabika Kalosi menembus pasar dunia tentu tak lepas dari keistimewahan kopi itu. Cita rasa yang khas dan unik menabalkannya sebagai salah satu kopi terbaik di dunia. Halus, lembut dan memiliki tingkat keasaman yang sempurna adalah karakteristik Kopi Kalosi.