oleh Miftha
Indonesia adalah negara yang mempunyai banyak ragam budaya dan kuliner dari pelosok negeri hingga kota-kota besar tidak kalah dengan kuliner luar negeri. Salah satu dari berbagai daerah di Indonesia adalah Massenrempulu. Sebuah sebutan untuk kabupaten Enrekang yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai banyak kuliner unik dan menarik baik dari segi nama maupun cara pembuatannya.
Jika berkunjung ke salah satu tempat tak lengkap rasanya bila tidak mencicipi makanan khas dari daerah yang kita kunjungi. Di massenrempulu khususnya wilayah desa Salukanan tepatnya di dusun Gandeng mempunyai makanan khas. Siapa saja yang pernah mencobanya tidak akan bergegas dari tempat duduknya hingga meng-upload di media sosial.
Makanan tradisional desa Salukanan yakni Pangbate atau penyangraian adalah makan yang terbuat dengan bahan utama padi pulu’ mandoti. Pangbate merupakan makanan yang hanya ditemukan di desa Salukanan, dusun Gandeng, Peawan, Bamboling dan sekitarnya pangba’te biasa disebut penghilang rasa rindu dengan sokko’ pulu mandoti karena pangba’te sendiri terbuat dari padi pulu mandoti yang baru berusia lebih lima bulan.
Pada era modern, makanan ini hanya ditemui di beberapa rumah dan mengalami peyusutan yang luar biasa dari bahan baku mentahnya. Makanan ini bisa dikatakan langka. Belum bisa olah secara besar-besaran karena pasokan bahan utama yang kurang. Penyebabnya beberapa faktor alam misalnya lahan untuk menanam padi pulu mandoti sangat terbatas serta hama tanaman padi pulu mandoti yang banyak.
Pemerintah harus menyediakan pupuk untuk menanggulangi hama yang sangat memprihatinkan bagi petani desa Salukanan. Petani harus siap untuk menghadapi masalah yang terjadi misalnya kurang tersedianya air untuk irigasi. Serta generasi muda harus melestarikan dengan mempelajari proses pembuatannya dari orang yang sudah ahli.
Pangba’te terbuat dari padi pulu mandoti yang baru berusia lebih lima bulan. Seminggu sebelum panen padi pulu mandoti itu sendiri memang membutuhkan waktu lama untuk ingin mencicipi makanan yang satu ini tapi semua akan terbayar dengan rasa dari pangba’te yang sangat nikmat membuat semua yang mencicipinya akan terhipnotis.
Selain waktu menunggu padi pulu mandoti yang muda, kita juga harus bersabar menunggu pangba’te yang sudah siap saji karena proses yang cukup rumit harus dilalui sebelum siap untuk dimakan. Diikuti penggunaan alat memasak tradisional yang harus sesuai dengan bahan utama yang digunakan dan tradisi adat yang masih kental.
Proses memasak terdiri dari tiga sesi antara lain pertama pengambilan padi menggunakan alat tradisional. Masyarakat di desa Salukanan biasa menyebutnya rangkapan, kemudian memisahkan bulir padi pulu mandoti dengan tangkainya. Kedua menyangrai padi pulu mandoti yang disebut mangba’te, setelah itu ditumbuk menggunakan lesung dan alu yang terbuat dari kayu hingga kulit padi tidak menempel lagi setelah ditapis. Ketiga mencampurkan kelapa parut, gula merah yang sudah diiris tipis dengan beras pulu mandoti hingga tercampur rata.
Pengambilan padi pulu mandoti tidak harus mengambil semua padinya hanya yang dibutuhkan saja dengan alat tradisional desa salukanan disebut rangkapan. Penggunaan alat ini harus dilakukan dengan hati-hati. Alat ini berbeda dengan sabit. Setelah pengambilan padi pulu mandoti harus diikat dengan tali yang terbuat dari serat bambu muda.
Penyangraian padi pulu mandoti dilakukan beberapa jam hingga kulit yang hijau berubah menjadi agak kecokelatan. Kemudian ditumbuk menggunakan lesung panjang yang terbuat dari kayu beserta alu dari bahan kayu Selanjutnya dialasi menggunakan ta’pian atau alat penapis. Berikutnya ditumbuk lagi menggunakan lesung yang kecil dengan alu yang lebih ringan hingga tidak ada lagi kulit yang menempel di beras pulu mandoti. Kelapa setengah muda diparut dan mengiris tipis gula merah yang terbuat dari air nira pohon aren. Beras yang sudah bersih atau bebas kulit padi dicampur hingga semua merata dan mengeluarkan aroma khas beras pulu mandoti. Semua rasa tercampur menjadi satu dalam pangbate.
Sebelumnya tahun 2011 masyarakat desa Salukanan sering menempatkan pangbate di tapian atau bakul dan dijejer di saladan atau tempat duduk yang terbuat dari bambu. Sebelum memakan pangba’te doa dipimpin oleh kepala dusun. Pangbate yang sudah ada di bakul kemudian disebar di kolom rumah panggung dan siap untuk dimakan bersama-sama. Semua orang sangat menikmati pangbate sampai larut malam.
Tahun 2006 kita masih bisa menemukan acara pangbate di bawah kolom rumah warga dimana tidak ada satupun yang tidak hadir dalam proses pembuatannya, mulai dari anak muda hingga orang tua ikut meramaikan. Masyarakat dusun gandeng larut dalam kebersamaan yang sangat erat. Membuat rasa dari pangbate sendiri lebih nikmat dan lezat. Masyarakat berbaur, bercengkrama hingga tidak ada yang bisa menghalangi atau pun mengganggu kegembiraan mereka.
“Saya sangat rindu dengan kekompakan masyarakat Gandeng ,seperti saat acara pangba’te semua bekerja sama hingga selesai” tegas ibu Halifah (43 tahun) warga dusun Gandeng.
Peninggalan leluhur atau pun nenek moyang kita harus dilestarikan dengan mengingat kembali masa-masa dulu serta mempublikasikannya kepada dunia khususnya masyarakat Indonesia agar mereka tahu bahwa masyarakat Indonesia tidak melupakan sejarah bangsanya sendiri. Pangba’te hanya sebagian dari beberapa makanan tradisional yang harus diwariskan kepada anak cucu bangsa Indonesia sehingga semua masyarakat merasakan betapa nikmatnya masakan Indonesia dibandingakan makanan siap saji yang berasal dari luar negeri. Dan tidak ada kata punah dalam kuliner nusantara Indonesia. Makanan siap saji sama sekali tidak memberikan manfaat yang berarti, jauh dibanding makanan tradisional yang lebih enak dan sehat. Walaupun proses pembuatannya jauh lebih lama tapi alangkah lebih baik dibanding makanan siap saji yang lebih berbahaya bagi tubuh manusia.
Penulis adalah Pelajar SMA Negeri 1 Baraka, bisa dihubungi melalui mifthahulkhaerahamir@yahoo.com