oleh Iradati Zahra
Salak (Salacca Edulis) adalah jenis tumbuhan plasma yang buahnya bisa dimakan. Buah ini juga disebut dengan snake fruit karena kulit buahnya menyerupai sisik ular. Pohon salak adalah pohon perdu, dimana tangkai salak memiliki duri yang panjang dan banyak dengan daun yang menyirip. Buah dari tumbuhan salak berbentuk segitiga agak bulat, terbalik, dan runcing dengan kulit cokelat hingga cokelat kemerahan. Sarkotesta atau dinding buah tengah memiliki tekstur bergading tebal berwarna putih hingga kuning krem, ada yang memiliki rasa manis, asam, bahkan sepat dengan biji keras berwarna cokelat kehitaman di bagian tengah.
Salak merupakan komoditas asli Indonesia. Tanaman ini tersebar di berbagai daerah di Indonesia seperti Bali, Kalimantan Barat, NTB, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Salah satu sentra produksi salak di Sulawesi Selatan yang terkenal terdapat di Daerah Kabupaten Enrekang.
Dari segi topografi, Kabupaten Enrekang lebih dikenal sebagai wilayah pegunungan, yang terdiri dari perbukitan/gunung, lembah, dan sungai. Didominasi oleh bukit atau gunung, yaitu sekitar 84,96% dari luas wilayah Kabupaten Enrekang secara keseluruhan. Bahkan, beberapa anggapan bahwa gunung tertinggi di pulau Sulawesi terapat di wilayah Enrekang, yaitu gunung Latimojong (puncak Rante Mario) yang memiliki ketinggian sekitar 3.478 mpdl, lebih tinggi dari gunung Rinjani di NTB dan Semeru di Jawa Timur.
Kabupaten Enrekang merupakan salah satu kabupaten Pemasok salak terbesar di Sulawesi Selatan. hal ini didukung karena kondisi geografis Kab. Enrekang yang terletak antara 3014’36’’-3050’00’’ Lintang Selatan dan antara 119040’53’’ – 12006’33’’ Bujur Timur. Berada pada ketinggian 442 mdpl dengan luas wilayah 1.786,01 km2 dan beriklim tropis. Selain itu, sebagian besar penduduk Enrekang menggantungkan kehidupannya pada sektor perkebunan dan pertanian. Salah satu pemasok salak di Kabupaten Enrekang terdapat di Dusun Banca, Kec. Baraka.
Dusun Banca adalah dusun yan sebagian besar penduduknya memiliki perkebunan salak. Walaupun mereka sudah memiliki sumber pendapatan lain, produksi salak masih terbilang sangat besar. Ini membuktikan bahwa hasil produksi salak masih sangat penting bagi masyarakat setempat tak terkecuali bagi mereka yang berprofesi sebagai Aparat Sipil Negara dan Pengusaha.
Salak sangat cocok tumbuh di Banca karena jenis tanah di dusun ini yaitu jenis tanah Aluvial Hidromorf dengan tekstur basah. Tanah ini banyak mengandung zat hara yang dapat menyerap air dengan baik seperti; kandungan fosfat, sitrat, CO2, dan tepung kapur, serta memiliki PH tanah yang cenderung netral. Daerah Dusun Banca juga memiliki banyak pohon yang menjulang tinggi yang menjadi pelindung bagi pohon salak yang tidak menyukai sinar matahari langsung sebagai salah satu cara untuk menjaga kelembapannya.
Produksi salak di Dusun Banca mengalami pasang surut dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011 hasil produksi salak mengalami penurunan yang signifikan sebanyak 31.467,9 Ton. Hal ini disebabkan karena curah hujan tinggi yang menyapu serbuk sari dari bunga salak sehingga tidak sempat berbuah, juga pergantian lahan pertanian salak ke pertanian merica. Pada tahun 2016 produksi salak mengalami peningkatan, hal ini disebabkan karena adanya perluasan lahan untuk komoditas salak.
Buah salak hanya dapat tumbuh di daerah tropis seperti di Indonesia. Namun buah tropis ini diminati oleh banyak orang di Eropa dan juga di Amerika. Hal ini dapat diketahui dari data BPS, ekspor salak 2018 sebesar 1.233 ton naik 28 persen dibanding tahun 2017 yang hanya 965 ton.
Salak yang ada di Dusun Banca terdapat tiga jenis, yaitu ; salak golla-golla, salak balibi (kecoklatan), salak kehitaman.
Harga salak bervariasi. Salak pada musim kemarau dapat terjual dengan harga sekitar Rp. 250.000,- / karung salak atau kurang lebih 100 biji. Dan pada musim penghujan harga salak hanya berkisar pada Rp. 130.000,-. Harga ini masih sangat murah jika dibandingkan dengan manfaat yang dapat kita ambil dari pohon salak. mulai dari batangnya, daunnya, buahnya, bijinya bahkan sampai pada kulit keras dan kulit ari dari buah ini.
Indonesia sekarang sudah memasuki Revolusi Industri 4.0 yang menuntut masyarakatnya berfikir kreatif dan inovatif, tak terkecuali kepada masyarakat dusun Banca. Maka dari itu perlunya ada pemberdayaan masyarakat yang bekerja sama dengan pemerintah sosial daerah yang bergerak dibidang pembinaan desain dan kria untuk memanfaatkan bahan yang ada di sekitar. Sebagai contoh dahan salak. Batang tanaman salak penuh dengan duri sehingga masyarakat biasanya hanya menjadikannya bahan bakar, perangkap burung, mainan kampung, dan pasak untuk komoditi palawija. Namun ternyata dahan salak tua dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku alternatif kerajinan tangan yang bernilai ekonomi dan membuka lapangan kerja yang baru.
Biji salak merupakan bagian dari buah salak yang berwarna cokelat dan tidak dapat dikomsumsi secara langsung karena teksturnya yang keras sehingga petani hanya menggunakannya sebagai bibit untuk menanam pohon salak yang baru. Namun ternyata biji salak memiliki banyak manfaat jika diolah dengan benar. Sebagai contoh bubuk kopi biji salak.
Bubuk kopi biji salak memiliki rasa yang khas serta berbeda dengan rasa kopi yang sering kita komsumsi. Biji salak ini memiliki kandungan protein, lemak, karbohidrat, pati, air, dan selulosa. Pengolahannya cukup sederhana. Hanya dengan menghaluskan biji salak yang sudah disangrai selama 30 menit, kemudian menyeduhnya seperti kopi pada umunya. Minuman ini juga bisa ditambahkan dengan jahe. Ketika diseduh, bubuk biji salak akan mengambang. Solusi dari masalah ini adalah menyeduhnya seperti teh bubuk dengan menggunakan saringan khusus, sehingga sari-sari biji salak akan turun ke gelas tanpa ampas. Minuman biji salak ini dapat memiliki khasiat yang beragam, seperti; dapat mengatasi asam urat, rematik, nyeri otot, serta mengurangi rasa nyeri pada bagian persendian, memperlancar peredaran darah, mencegah hipertensi, meningkatkan massa otot, meningkatkan kecerdasan, dan menyehatkan lambung, serta memperlancar sistem pencernaan.
Di korea bahkan terdapat olahan biji salak yang diempukkan. Ini seharusnya menjadi perhatian khusus bagi kita yang sudah didukung oleh sumber daya alam yang melimpah. Mengapa Negara yang tidak memiliki produksi salak, bisa mengolahnya sedangkan kita yang sudah memiliki salak yang melimpah tidak memanfaatkannya secara baik?.
Buah salak mendapat mitos sebagai pengganggu pencernaan. Hal ini terjadi karena kebiasaan masyarakat yang mengkomsumsi buah salak dengan membuang kulit arinya. Berdasarkan penelitian, kulit ari yang berwarna putih transparan ini memiliki banyak manfaat seperti melancarkan pencernaan, menyehatkan mata, mencegah sariawan, dan sebagai zat anti racun alami.
Buah salak biasanya dikomsumsi secara langsung sebagaimana buah pada umunya. Namun Buah salak juga bisa dijadikan olahan makanan ringan seperti keripik. keripik salak adalah salah satu jenis keripik yang dibuat dari buah segar yang kaya serat dan mengandung banyak kebaikan seperti; karbohidrat, protein, vitamin C, vitamin B1, B2, B3, B5, B6, kalsium, zat besi, Magnesium, Kalium, Fosfor, dll. Banyak anak-anak atau orang dewasa menyukai keripik salak sebab rasanya yang lezat.
Pada tahun 2007, petani wanita salak Dusun Banca yang tergabung dalam KWT Ca’bi Salak membuat usaha sendiri. Usaha yang memanfaatkan salak sebagai bahan baku ini diberi nama “Usaha Tani Keripik Salak Balibi”. Dalam usaha ini kelompok tani tidak hanya mengolah hasil produksi salak menjadi kripik salak namun juga mengolahnya menjadi aneka makanan seperti sirup salak, dodol salak, dan permen salak. Tahun 2011 Usaha Tani KWT Ca’bi Salak tidak lagi berproduksi. Hal ini disebabkan karena mesin penggorengan salak memiliki kerusakan. Besarnya biaya produksi yang cukup mahal, proses pembuatan kripik salak juga seringkali mengalami kegagalan akibat kesalahan perendaman dan kebocoran pada mesin penggorengan. Dusun banca juga tak jarang mengalami lampu padam dimana hal ini juga menyebabkan kegagalan produksi kripik salak karena mesin yang digunakan untuk pengolahan buah salak ini memerlukan tenaga listrik. Mesin penggorengan mati akibat lampu padam maka buah salak yang telah digoreng akan lembek meskipun beberapa kali dikeringkan di mesin peniris minyak. Hasil penggorengan dengan keadaan tersebut tidak dapat dijual. Hal inilah menjadi penyebab kerugian usaha tani salak KWT Ca’bi Salak di Banca sehingga para anggotanya tidak lagi menjalankan usaha tani tersebut.
Menurut Pak Yunus. P (62 thn), tidak adanya pelatihan secara khusus kepada kelompok tani ini membuat mereka kurang pengetahuan untuk memecahkan masalah teknis serta alat bantuan pemerintah yang ada sudah rusak. Padahal jika diteruskan usaha ini sangat berpotensi menjadi peluang bisnis. Ketua Kelompok Tani Talise ini mengharapkan adanya bantuan dana, alat, dan genset agar ketika lampu tiba-tiba padam, produksi dapat tetap berjalan.
Berdasrkan Kementrian Perindustrian, sektor makanan dan minuman pada tahun 2016, mengkontribusikan 29 persen dari PDB Manufaktur, 24 persen ekspor manufaktur dan menyerap 33 persen tenaga kerja sektor manufaktur. Jika dibanding dengan Negara lain sektor makanan dan minuman di Indonesia memiliki potensi pertumbuhan yang besar karena didukung oleh sumber daya pertanian yang berlimpah dan permintaan domestik yang besar.
Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan potensi yang bisa didapatkan dari produksi olahan salak, pemerintah harus lebih memperhatikan sektor usaha kecil dalam meningkatkan lokalitas dengan memanfaatkan sumber daya alam seperti salak yang memiliki banyak manfaat. Perlunya ada pelatihan khusus agar meningkatnya sumber daya manusia. Sektor usaha kecil seperti ini dapat membuka lapangan kerja baru, meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan mampu mempersiapkan Dusun Banca khususnya dan Indonesia pada umumnya untuk menghadapi Rovolusi Industri 4.0 pada bidang makanan dan minuman serta industri tekstil yang menuntut masyarakat mampu bersaing di bidang bisnis.
Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam Lomba Esai “Potensi Lokal Enrekang” tahun 2019 yang diadakan Dispustaka Enrekang dan menjadi Pemenang III.