oleh Wahyuni
Tiga hari terakhir aku mulai memperhatikan keberadaanya, gadis kumel lagi lusuh berpakaian compang camping bahkan terkadang memakai pakaian yang lebih besar dari badannya, anak itu duduk menyilangkan kakinya memeluk piring kosong berwarna putih, ia mengangkat kepalanya pelan dan melihat ke arahku sembari tersenyum tipis, tapi pikirku dalam hati “pasti dia sengaja senyum agar aku bisa tersentuh dan memberinya sesuatu, tapi aku tidak akan tertipu dengan penampilannya”, begitu pikirku.
Si titin dan neneknya itu menetap di sebuah gubuk. Entah karena memang hanya itu milik mereka satu-satunya. Enrekang Duri memang terkenal dengan hutannya yang masih lebat walaupun sekarang ada beberapa yang mulai gundul. Meski bukan di hutan melainkan di pinggiran desa-desa namun Nek Titin tetap giat bekerja, baik menjadi buruh tani (Enrekang desa agrobisnis) ataupun pekerjaan lain yang dapat menghasilkan sesuatu. Semua itu untuk mengganjal perut mereka setiap harinya, wajarlah Nek Titin bekerja serabutan karena dia sudah tidak kuat lagi untuk bertani. Apalagi memang di daerah Enrekang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani baik di kota maupun di desa .
“Ah memang sudah biasa dia seperti itu mungkin dia lapar, tapi wajar sih ia begitu”, gerutuku dalam hati. Setiap hari sepulang menemani neneknya berkeliling kampung mengetok pintu dengan harap mendapat sesuatu yang dapat mengganjal perutnya.
“Ah sudah biasa jika mereka kerjanya hanya meminta –minta, neneknya kan sudah tua sementara si Titin baru berumur 5 tahun”, bisikku dalam hati.
Tapi senja itu ketika mentari mulai menghangat, nenek Titin terlihat mondar-mandir di sekitaran sungai kampung Duri, seorang warga menghampiri seraya bertanya “lagi cari apa Nek?”.
“Ini nenek lagi cari…….”.
Belum selesai jawaban Nenek Titin, aku pun berlalu begitu saja tanpa mendengar lebih lanjut cerita Nek Titin. Niatku hanya agar bisa cepat pulang sampai kerumah. Ketika aku melewati gubuk Nek Titin, lagi-lagi aku melihat anak itu duduk sembari menyilangkan kaki dan masih memeluk piring kosongnya. Namun kali ini ada yang berbeda, dia tidak menatapku dengan senyuman di bibirnya tapi dia mengkerutkan keningnya dan senyumnya berganti dengan wajah muram seolah ia marah padaku, dan aku tak menanggapinya. Aku ingin berlalu saat akan melangkahkan kaki seketika Titin memanggilku, “Om, Titin Lapar”.
“Tuh kan dia memang lapar”.
Bagaimana dia tak lapar, neneknya saja sejak siang tadi kerjanya hanya mondar-mandir di sungai. Tanpa menemukan ikan ataupun sesuatu untuk Titin, sampai magrib begini pun ia belum kembali, jawabku sekenanya.
Keesokan harinya seperti biasa jika menuju tempat kerjaku pasti melewati Rumah Nek Titin. Tapi ada yang aneh hari ini. Dari jauh aku melihat keramaian di rumah nenek Titin, semakin aku mendekat semakin jelas terpasang di depan rumah Nek Titin terpasang bendera kuning.
“Permisi pak” kataku sambil menghentikan langkah pak arif yang akan masuk ke rumah Nek Titin
“iya”, jawabnya singkat.
“Pak kok rumah Nek Titin d pasangi bendera kuning memenagnya siapa yang meninggal Pak, Nek Titin Ya”, tanyaku.
“Bukan tapi Titin”.
“Innalillahiwainnailahirojiun“, sahutku.
“Kapan Titin Meninggal Pak”, tanyaku kembali.
“Sudah Empat hari yang lalu nak, tapi baru kemarin jasadnya ditemukan di Sungai Kampung, itupun setelah Nek titin memberitahukanku kemarin.
“Dengan segera kami melakukan pencarian dan mirisnya lagi kata neneknya, Si Titin sangat lapar hingga ia tak sabar menunggu neneknya yang sedang membasuh mukanya di aliran sungai, hingga ia berani menyeberangi jembatan dan ia pun terjatuh. Sudah beberapa hari neneknya mencari di pinggiran sungai namun belum ketemu hingga datang bantuan dari warga”, lanjutnya bercerita.
Bagai di siram air es, tubuhku langsung menggigil, banyak sekali pertanyaan di kepalaku. Jika Titin menghilang atau bahkan meninggal sejak 4 hari yang lalu, lantas siapa yang selalu aku lihat di depan gubuk Nek Titin. Suara siapa yang memanggil namaku ketika itu. sontak bulu kudukku berdiri.
Takut bercampur haru serta sesal. Mengapa aku tidak bisa membantu atau melakukan sesuatu untuk mereka sekadar memberi recehan kepada Si Titin tiap pulang dari tempat kerjaku. Ah kenapa aku ini menjadi begitu pelit, mengapa hatiku tidak tergerak untuk menolong mereka, apakah ini teguran bagiku?
Mulai hari ini aku akan berjanji tidak akan tinggal diam dengan penderitaan orang di sekitarku selama aku masih mampu.